Mohon tunggu...
shainaaney
shainaaney Mohon Tunggu... Mahasiswa - International Relations Student

The self is too whole to be contained by labels. 🧿 Incoming Undergraduate International Relations Student

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

From Zero-Intention to Zero Emission: FPCI UMY on Indonesia Net Zero Summit 2024

3 September 2024   20:25 Diperbarui: 3 September 2024   20:34 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FPCI Chapter UMY bersama H. E Mario Ignacio Artaza, Ambassador of Chile to Indonesia & ASEAN

FPCI Chapter UMY Participates in Indonesia Net Zero Summit 2024: A Call for Collective Action in Addressing Climate Change

Notulensi milik Muhammad Arsyad Rifqy, Tabriz Makarim, Rakay Gibran Algani & Disusun Oleh Shaina Neysa Hanifa

FPCI Chapter UMY kembali berpartisipasi dalam menghadiri konferensi lingkungan terbesar di Indonesia, Indonesia Net Zero Summit 2024, sebuah konferensi lingkungan terbesar di Indonesia yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) pusat. Dalam acara ini, FPCI mengundang berbagai tokoh penting, mulai dari teknokrat dan peneliti hingga Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, serta influencer ternama, untuk berbagi pandangan mereka sebagai pembicara dalam forum diskusi. 

Pada acara pembukaan Indonesia Net Zero Summit 2024, Dr. Dino Patti Djalal, tokoh diplomatik terkemuka Indonesia, menyampaikan pesan yang kuat mengenai urgensi menghadapi perubahan iklim. Beliau memulai sambutannya dengan menyatakan bahwa perubahan iklim adalah musuh terbesar yang pernah dihadapi, bahkan dibandingkan dengan tantangan selama karirnya sebagai diplomat. Perubahan iklim digambarkan sebagai ancaman global yang tidak pandang bulu, menyerang setiap bangsa tanpa terkecuali. Dalam pidatonya, Dino Patti Djalal mendesak semua pihak, dari pemerintah hingga masyarakat sipil, untuk bersatu dalam perang melawan perubahan iklim.

Menurut Dino Patti Djalal, aksi iklim harus menjadi prioritas utama dalam upaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Ia menekankan bahwa Indonesia, dengan segala potensinya, harus berada di garis depan dalam perjuangan ini dan berperan sebagai juara dalam mencapai dunia yang netral karbon. Dino Patti Djalal menutup pernyataannya dengan menekankan pentingnya keterlibatan seluruh sektor, termasuk sektor swasta, dalam mencapai target net-zero pada tahun 2050.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan apresiasinya terhadap perjuangan kolektif melawan perubahan iklim. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa penghargaan Climate Hero Award bukan hanya milik individu atau kelompok tertentu, tetapi milik semua orang yang berkontribusi dalam menjaga kelestarian bumi. "Penghargaan ini milik kalian semua," ungkap Sri Mulyani, sebagai pengakuan atas kontribusi semua pihak dalam upaya pelestarian lingkungan.

Wakil Menteri Luar Negeri, Pahala Nugraha Mansury, S.E., M.B.A juga memberikan pandangannya, menyoroti peran strategis Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia, yang diproyeksikan akan menjadi ke-5. Beliau menekankan bahwa dalam menghadapi perubahan iklim, Indonesia harus mematuhi prinsip-prinsip lingkungan yang ketat, termasuk dalam pengelolaan karbon dan perbaikan sektor energi yang bertanggung jawab atas mayoritas emisi gas rumah kaca. Lebih dari itu, beliau menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dalam meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, mengakhiri sesi pembukaan dengan membagikan pengalamannya dari seorang aktivis yang peduli terhadap isu-isu lingkungan hingga menjadi pemimpin perubahan. Sebagai gubernur, Ridwan Kamil telah mengambil langkah-langkah konkret, termasuk menanam 80 juta pohon di Jawa Barat dan menjadi pejabat pertama di Indonesia yang menggunakan mobil listrik. Ia juga mendorong penerapan konsep bekerja dari rumah sebagai upaya mengurangi mobilitas yang berlebihan dan emisi karbon. Ridwan Kamil menekankan bahwa perubahan besar ini membutuhkan kemauan politik yang kuat, dan berharap lebih banyak pemimpin yang peduli terhadap isu lingkungan dapat bergabung dalam perjuangan ini.

Acara ini menjadi momentum penting bagi semua peran yang terlibat dalam mempertegas komitmen Indonesia menuju perang melawan perubahan iklim, dengan dukungan penuh dari berbagai pemimpin dan elemen masyarakat.

  • Studio 1

"Indonesia di Tengah Pertarungan Geopolitik Perubahan Iklim"

Dalam upaya mengharmonisasikan kebijakan energi dan perdagangan Indonesia dengan standar global, berbagai tokoh nasional menyampaikan pandangannya dalam diskusi yang diadakan baru-baru ini. Diskusi ini menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memenuhi standar internasional sambil tetap mempertahankan kedaulatan nasional dan kepentingan rakyat.

Arcandra Tahar mengawali diskusi dengan menekankan bahwa kebijakan energi Indonesia harus disesuaikan dengan kondisi geopolitik dan geografisnya yang unik. "Berbeda dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, yang fokus pada dekarbonisasi dan diversifikasi energi, Indonesia sebagai negara kepulauan harus menemukan jalannya sendiri," ujarnya. Ia menekankan pentingnya menyediakan energi yang terjangkau dan bersih bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tetap memperhatikan potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang ada.

Sementara itu, Tiza Mafira mengangkat isu Green Protectionism, sebuah hambatan perdagangan yang dikemas dalam alasan lingkungan. Ia mengingatkan bahwa ketidaksesuaian standar ESG (Environmental, Social, and Governance) dapat menghambat ekspor nikel Indonesia ke pasar global, khususnya ke Amerika Serikat. "Mengapa Indonesia tidak segera memenuhi permintaan global ini agar bisa memperluas pasar?" tanyanya, menyoroti urgensi untuk beradaptasi dengan standar internasional.

Shinta W. Kamdani menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia harus siap untuk mengikuti permintaan pasar global, terutama dalam industri strategis seperti besi baja, aluminium, dan pupuk. Ia juga menekankan peran pemerintah dalam mempercepat perjanjian ID-IUSIPA untuk mengatasi keterbatasan dan membuka akses Indonesia ke pasar global.

Dalam sektor komoditas, Agus Purnomo menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menyesuaikan dengan standar ekspor Eropa, terutama dalam komoditas seperti sawit, kakao, kopi, dan karet. "Standar yang dibuat Eropa seringkali tidak memahami kondisi di Indonesia, di mana mayoritas pemilik lahan adalah masyarakat, bukan industri besar," jelasnya. Ia juga menekankan pentingnya kesepahaman yang baik antara Indonesia dan mitra dagang untuk mengatasi isu legalitas lahan yang sering menjadi kendala dalam perdagangan internasional.

Diaz Hendropriyono menutup diskusi dengan menyoroti hubungan antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. "Dengan meningkatnya jumlah populasi dan perkembangan teknologi, termasuk AI, kebutuhan energi terus meningkat, dan ini harus diantisipasi dengan kebijakan yang tepat," ujarnya.

Diskusi ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu menyusun strategi yang komprehensif dan proaktif dalam menghadapi tantangan global sambil tetap menjaga kepentingan nasional.

Studio 2

"Mendorong Indonesia Menuju Masa Depan yang Berkelanjutan: Pemimpin Industri dan Ahli Berbagi Pandangan tentang Perubahan Iklim dan Energi."

Dalam diskusi terbaru yang membahas masa depan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim dan energi, sejumlah tokoh penting dari berbagai sektor berbagi pandangan mereka tentang bagaimana Indonesia dapat memimpin dalam transisi ke ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Gita Syahrani, Ketua Dewan Pengurus Koalisi Ekonomi Membumi (KEM), menyoroti pentingnya diversifikasi ekonomi Indonesia dalam mencapai keberlanjutan jangka panjang. "Meskipun pembangunan ekonomi kita melibatkan individu, badan usaha, dan pemerintah dalam produksi, distribusi, dan konsumsi, kondisi ekologi serta sosial belum berfungsi secara optimal," kata Gita. Ia menekankan bahwa transisi menuju ekonomi regeneratif tidak bisa dilakukan secara instan. "Kita harus fokus pada diversifikasi ekonomi yang netral dan bertanggung jawab secara lingkungan, yang juga dapat meningkatkan nilai produk kita," tambahnya.

Anindya Bakrie, Presiden Direktur Bakrie & Brothers dan Komisaris Utama VKTR, mengusulkan pendekatan berbasis lokal untuk mencapai target net-zero. "Green business itu menarik karena berdampak, dapat di-scale, dan menjadi vektor perubahan. Mengapa tidak memulai dengan net-zero lokal? Bali, misalnya, bisa menjadi pulau net-zero," ungkapnya, mengajak pelaku bisnis untuk berpikir inovatif dalam mencapai keberlanjutan.

Dalam diskusi terkait energi, Juli Oktarina, Direktur PT TBS Energi Utama Tbk, menekankan bahwa target net-zero pada tahun 2030 adalah tantangan besar, terutama dalam manajemen limbah. "Waste management, khususnya untuk limbah medis, harus menjadi perhatian. Obligasi hijau dapat digunakan untuk memperbaiki struktur perusahaan demi mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan," jelasnya.

Peramas Wajananawat, Direktur Cement Plant SCG Indonesia, menyoroti strategi menuju net-zero pada tahun 2050 yang mencakup langkah-langkah seperti go green, pengurangan kesenjangan, penghapusan batubara, dan penggunaan energi terbarukan. Strategi ini sejalan dengan upaya global untuk mengurangi dampak lingkungan dari industri berat.

Dalam sektor teknologi dan keberlanjutan, Rivana Mezaya, Director of Digital and Sustainability Grab Indonesia, menjelaskan inisiatif Grab dalam mengurangi emisi karbon melalui fitur pemesanan makanan tanpa alat makan sekali pakai dan optimalisasi rute pengiriman. "Jika driver mengantarkan pesanan lain dalam satu rute, itu sebenarnya bagian dari upaya menjaga emisi dengan mengurangi perjalanan yang tidak perlu," katanya.

Diskusi ini dimoderatori oleh Arif Utomo, Manajer Engagement untuk Program Energi dan Bisnis Berkelanjutan WRI Indonesia, yang juga memberikan perspektif global tentang pentingnya transisi menuju energi bersih dan kebijakan yang mendukung keberlanjutan.

Acara ini juga diwarnai oleh presentasi dari Mr. Mario, perwakilan dari Chile, yang memberikan gambaran tentang bagaimana negaranya, yang dikenal sebagai pelopor energi surya dan penghasil tembaga terbesar di dunia, menghadapi perubahan iklim melalui inovasi teknologi dan kebijakan yang progresif. Ia mengingatkan bahwa perubahan dimulai dari diri sendiri, dengan tindakan sederhana yang dapat dilakukan di rumah.

Sejumlah pembicara lainnya, termasuk Frances Seymour dan Dr. Nani, juga menekankan pentingnya perlindungan hutan tropis dan ekosistem pesisir sebagai bagian dari solusi perubahan iklim. Frances menyebutkan bahwa hutan tropis, termasuk yang ada di Indonesia, berfungsi sebagai AC alami dunia, sementara Dr. Nani menyoroti peran penting generasi muda dalam melindungi kekayaan alam Indonesia.

Diskusi ini menegaskan bahwa kolaborasi lintas sektor dan pendekatan inovatif sangat penting bagi Indonesia untuk mencapai target keberlanjutan dan menjadi pemimpin dalam transisi global menuju masa depan yang lebih hijau.

Studio 2 Sesi 2C

Indonesia dalam Pusaran Transisi Energi Global: Tantangan dan Peluang Menuju Netralitas Karbon

Jakarta, September 2024 --- Dalam diskusi terbaru yang menyoroti transisi energi global, sejumlah pemimpin dan ahli dari berbagai negara berbagi pandangan mereka tentang tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia dalam perjalanan menuju netralitas karbon. Diskusi ini menekankan pentingnya pendekatan lokal dan kolaborasi internasional dalam mencapai tujuan keberlanjutan.

Liu Zhenmin, seorang tokoh terkemuka dari China, menegaskan peran penting negaranya dalam memerangi perubahan iklim. Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, China telah berhasil mencapai hampir 52% penggunaan energi terbarukan dan terus mempromosikan teknologi yang mendukung netralitas karbon. "Untuk mengatasi perubahan iklim, semua pihak harus bekerja dalam kerangka tujuan bersama," ujarnya, menyerukan kolaborasi global untuk menghadapi krisis iklim.

Sesi berikutnya yang dipandu oleh Arcandra Tahar membahas pendekatan yang berbeda antara Amerika Serikat dan Eropa dalam menghadapi perubahan iklim. Arcandra menjelaskan bahwa AS fokus pada dekarbonisasi melalui teknologi yang menangani karbon dari bahan bakar minyak, sementara Eropa lebih condong pada diversifikasi energi. Namun, ia menekankan bahwa Indonesia tidak bisa sepenuhnya mengikuti model negara lain. "Indonesia harus mengembangkan jalannya sendiri sesuai dengan kondisi lokal," kata Arcandra, menyoroti tantangan seperti ketergantungan pada panel surya yang rentan terhadap cuaca dan kebutuhan akan pengembangan smart grid sebagai bagian dari solusi energi terbarukan di Indonesia.

Dalam diskusi terkait proteksionisme hijau, Tiza Mafira membahas bagaimana upaya pembatasan perdagangan dengan alasan lingkungan semakin marak di dunia internasional. Di Eropa, hal ini dilakukan dengan membatasi produk yang menghasilkan karbon tinggi, sementara di Amerika Serikat, proteksionisme hijau diwujudkan melalui subsidi produk dalam negeri yang memenuhi standar karbon tertentu. Tiza mengingatkan bahwa proteksionisme ini bisa menjadi tantangan besar bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam mengakses pasar global.

Diaz Hendropriyono menambahkan perspektif tentang pengembangan energi nuklir sebagai salah satu solusi potensial untuk tantangan energi di Indonesia. Ia menyatakan bahwa energi nuklir, khususnya dengan teknologi thorium, bisa menjadi pilihan yang lebih murah dan lebih aman dibandingkan dengan batubara dan gas. "Dengan teknologi thorium, Indonesia bisa mengembangkan energi nuklir tanpa risiko pengembangan senjata nuklir," jelasnya, mendorong pertimbangan yang lebih serius terhadap energi nuklir sebagai bagian dari strategi energi masa depan Indonesia.

Diskusi ini menekankan pentingnya pendekatan yang holistik dan kontekstual dalam transisi energi, dengan memperhitungkan tantangan dan keunikan lokal, serta mengakui perlunya kolaborasi internasional yang kuat untuk mencapai tujuan netralitas karbon.

Partisipasi FPCI Chapter UMY pada Indonesia Net Zero Summit 2024 tidak hanya mencerminkan komitmen kami untuk mendukung dan menyuarakan isu-isu global terkait lingkungan seperti perubahan iklim, tetapi juga memperkuat peran FPCI UMY sebagai komunitas think tank yang aktif dalam diskusi dan aksi lingkungan. Keterlibatan dalam konferensi ini menjadi bukti nyata dedikasi FPCI UMY dalam memperjuangkan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi Indonesia dan dunia. Dengan semangat kolaborasi dan inovasi, FPCI Chapter UMY terus berkontribusi dalam upaya global menuju netralitas karbon, menjadikan acara ini sebagai inspirasi bagi generasi muda untuk terlibat lebih dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun