Mohon tunggu...
shainaaney
shainaaney Mohon Tunggu... Mahasiswa - International Relations Student

The self is too whole to be contained by labels. 🧿 Incoming Undergraduate International Relations Student

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

From Zero-Intention to Zero Emission: FPCI UMY on Indonesia Net Zero Summit 2024

3 September 2024   20:25 Diperbarui: 3 September 2024   20:34 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam upaya mengharmonisasikan kebijakan energi dan perdagangan Indonesia dengan standar global, berbagai tokoh nasional menyampaikan pandangannya dalam diskusi yang diadakan baru-baru ini. Diskusi ini menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memenuhi standar internasional sambil tetap mempertahankan kedaulatan nasional dan kepentingan rakyat.

Arcandra Tahar mengawali diskusi dengan menekankan bahwa kebijakan energi Indonesia harus disesuaikan dengan kondisi geopolitik dan geografisnya yang unik. "Berbeda dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, yang fokus pada dekarbonisasi dan diversifikasi energi, Indonesia sebagai negara kepulauan harus menemukan jalannya sendiri," ujarnya. Ia menekankan pentingnya menyediakan energi yang terjangkau dan bersih bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tetap memperhatikan potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang ada.

Sementara itu, Tiza Mafira mengangkat isu Green Protectionism, sebuah hambatan perdagangan yang dikemas dalam alasan lingkungan. Ia mengingatkan bahwa ketidaksesuaian standar ESG (Environmental, Social, and Governance) dapat menghambat ekspor nikel Indonesia ke pasar global, khususnya ke Amerika Serikat. "Mengapa Indonesia tidak segera memenuhi permintaan global ini agar bisa memperluas pasar?" tanyanya, menyoroti urgensi untuk beradaptasi dengan standar internasional.

Shinta W. Kamdani menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia harus siap untuk mengikuti permintaan pasar global, terutama dalam industri strategis seperti besi baja, aluminium, dan pupuk. Ia juga menekankan peran pemerintah dalam mempercepat perjanjian ID-IUSIPA untuk mengatasi keterbatasan dan membuka akses Indonesia ke pasar global.

Dalam sektor komoditas, Agus Purnomo menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menyesuaikan dengan standar ekspor Eropa, terutama dalam komoditas seperti sawit, kakao, kopi, dan karet. "Standar yang dibuat Eropa seringkali tidak memahami kondisi di Indonesia, di mana mayoritas pemilik lahan adalah masyarakat, bukan industri besar," jelasnya. Ia juga menekankan pentingnya kesepahaman yang baik antara Indonesia dan mitra dagang untuk mengatasi isu legalitas lahan yang sering menjadi kendala dalam perdagangan internasional.

Diaz Hendropriyono menutup diskusi dengan menyoroti hubungan antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. "Dengan meningkatnya jumlah populasi dan perkembangan teknologi, termasuk AI, kebutuhan energi terus meningkat, dan ini harus diantisipasi dengan kebijakan yang tepat," ujarnya.

Diskusi ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu menyusun strategi yang komprehensif dan proaktif dalam menghadapi tantangan global sambil tetap menjaga kepentingan nasional.

Studio 2

"Mendorong Indonesia Menuju Masa Depan yang Berkelanjutan: Pemimpin Industri dan Ahli Berbagi Pandangan tentang Perubahan Iklim dan Energi."

Dalam diskusi terbaru yang membahas masa depan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim dan energi, sejumlah tokoh penting dari berbagai sektor berbagi pandangan mereka tentang bagaimana Indonesia dapat memimpin dalam transisi ke ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Gita Syahrani, Ketua Dewan Pengurus Koalisi Ekonomi Membumi (KEM), menyoroti pentingnya diversifikasi ekonomi Indonesia dalam mencapai keberlanjutan jangka panjang. "Meskipun pembangunan ekonomi kita melibatkan individu, badan usaha, dan pemerintah dalam produksi, distribusi, dan konsumsi, kondisi ekologi serta sosial belum berfungsi secara optimal," kata Gita. Ia menekankan bahwa transisi menuju ekonomi regeneratif tidak bisa dilakukan secara instan. "Kita harus fokus pada diversifikasi ekonomi yang netral dan bertanggung jawab secara lingkungan, yang juga dapat meningkatkan nilai produk kita," tambahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun