Mohon tunggu...
Inezia Sukonco
Inezia Sukonco Mohon Tunggu... Lainnya - Blog

Mahasiswa Komunikasi Universitas Atma Jaya

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Pandangan Patriarkis yang Sama dari Dua Negara yang Berbeda

14 Desember 2020   22:19 Diperbarui: 14 Desember 2020   22:33 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbedaan perilaku yang diterima oleh kaum perempuan dengan kaum laki-laki bukan lah sebuah hal yang baru yang bisa ditemukan di dalam masyarakat, terutama di tengah masyarakat yang menganut budaya patriarki. 

Menurut Rokhmansyah dalam Sakina (2017) menyatakan bahwa nama patriarki berasal dari kata ‘patriarkat’, yang memiliki arti sebagai sebuah struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya.

Perbedaan perilaku berdasarkan gender inilah yang ingin disorot dalam penulisan artikel kali ini adalah mengenai bagaimana kaum perempuan ‘dipaksa’ untuk memiliki pasangan atau settle down atau diharapkan untuk masuk ke sebuah hubungan yang serius bahkan menikah, jika telah menginjak umur yang dianggap ‘matang’. ‘Paksaan’ ini bisa kita temukan di dalam film lokal, Kapan Kawin? (2015) dan bahkan film asing, seperti Holidate (2020).

Tak disangka, kehadiran film yang menjadi salah satu sarana hiburan inilah yang menjadikannya lebih mudah untuk menanamkan nilai-nilai penting dari sang produsen film kepada khalayak atau penontonnya. Disini lah keunggulan lain sebuah film dapat terlihat.

Film dapat menanamkan nilai-nilai ini dengan cara yang tersirat, bukan tersurat, dan dengan kemasannya yang berupa sebuah sarana hiburan, film ini juga dapat kita konsumsi secara berulang.

Meskipun begitu, nilai yang disampaikan secara tersirat ini bisa diartikan atau diinterpretasikan dengan berbagai cara, sehingga bisa saja nilai yang disebarkan melalui film ini dapat ditangkap dengan cara yang berbeda oleh para penonton film yang berasal dari berbagai latar belakang.

Kedua film ini akan dibahas atau dianalisis dengan menggunakan teori strukturasi, yang dicetuskan oleh Vincent Mosco, yang berfokus kepada hubungan antara keberadaan kelas, gender, jenis kelamin, serta ras, yang menjadi faktor pengaruh dari sebuah struktur yang dibentuk dan/atau direproduksi oleh agen komunikasi (Subandi & Sadono, 2018). Salah satu contohnya bisa terlihat dari keberadaan atau kelas kaum perempuan berdasarkan budaya patriarki yang dianut hampir di seluruh dunia.

Analisis film ini pun menggunakan metodologi analisis teks. Analisis ini akan dilakukan dengan cara menganalisis teks yang terdapat di dalam kedua film, contohnya seperti ucapan yang dilontarkan oleh para pemeran di dalam film tersebut.

Berbeda dengan pembahasan di dalam artikel-artikel sebelumnya, artikel kali ini akan membahas mengenai 2 film yang berasal dari negara yang berbeda, yaitu Indonesia dan Amerika Serikat. Kedua negara ini jelas memiliki perbedaan pandangan dan juga kultur, namun jika kita teliti lagi, ternyata ada persamaan dari budaya yang mereka anut, yaitu bagaimana perempuan yang ‘matang’ akan lebih baik jika memiliki pasangan, seperti Dinda dalam film Kapan Kawin? (2015) dan Sloane dalam film Holidate (2020).

Kedua pribadi perempuan ini memiliki sebuah persamaan, yaitu mereka tidak suka untuk berkumpul dengan keluarga yang menekan mereka terus menerus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun