Merdeka Belajar sudah tidak asing lagi di telinga para insan cendekia. Pasalnya kata tersebut dicetusaskan oleh Bapak Pendidikan Indonesia yaitu Ki Hadjar Dewantara sejak zaman kolonial Belanda. Merdeka Belajar dapat diartikan belajar yang diatur sendiri oleh pelajar. Pelajar yang menentukan tujuan, cara dan penilaian belajarnya. Dari sudut pandang pengajar, merdeka belajar berarti belajar yang melibatkan murid dalam penentuan tujuan, memberi pilihan cara, dan melakukan refleksi terhadap proses dan hasil belajar. Orang yang merdeka belajar akan senantiasa merefleksikan, menyesuaikan pemikiran dan perbuatannya terhadap perubahan sekitar dalam upaya mencapai tujuan-tujuan. Akan tetapi, sebagian guru termasuk saya melakukan miskonsepsi Merdeka Belajar. Guru beranggapan sudah melaksanakan merdeka belajar tetapi pada kenyataannya belum, bahkan masih jauh dari konsep merdeka belajar sesuai pemikiran KHD yang sesungguhnya.
Kata  Miskonsepsi  pertama guru menganggap siswa tabularasa. Pendidik tidak menyadari kalau anak itu mempunyai kodrat bawaan sejak lahir sehingga mereka menggiring anak sesuai keinginan tanpa mengetahui apa kodratnya. Mereka  masih memaksa burung berenang di samudra padahal kodratnya terbang tinggi ke angkasa. Seharusnya guru memiliki tugas ibarat petani dan tukang kebun. Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih budaya dalam masyarakat. untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Peran pendidik yaitu menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak. Dalam proses 'menuntun' anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai 'pamong' dalam memberi tuntunan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Anak memiliki warna yang berbeda karena kodrat alam dan kodrat zaman mempengaruhi tingkah lakunya. Sebagai guru tidak bisa menyamakan dalam mendidik anak. Seorang 'pamong' dapat memberikan 'tuntunan'agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar.
Miskonsepsi kedua, guru menyamakan konsep mengajar dan mendidik padahal kenyataanya sangat berbeda. Selama ini guru hanya menjejali materi ke murid, menuntaskan silabus sesuai kurikulum, serta menuntut anak didik mendapatkan nilai di atas KKM. Guru masih melihat hasil pembelajaran dengan nilai A adalah utama, tanpa betul-betul melihat prosesnya. Sehingga pada praktiknya sering ada kesenjangan antara karakter dan kompetensi. Pengembangan kompetensi yang tidak menyeluruh membuat murid  menjadi kompeten, tetapi minim nilai-nilai karakter. Sebaliknya, ada murid yang berkarakter, tetapi tidak menguasai kompetensi yang diharapkan. Seharusnya selain mengajar guru juga mendidik sehingga murid memiliki keseimbangan antara kompetensi dan karakter untuk dapat menjadi pribadi yang utuh sehingga mampu menjawab tantangan zaman. Pengembangan karakter harus menjadi muara dalam pembelajaran. Karakter bukan hanya terkait sikap murid tetapi harmonisasi  olah hati, olah rasa, olah pikir dan olah raga yang diimplementasikan pada kehidupan sehari-hari. Jika semua itu sudah dimiliki murid pasti mereka menjadi profil pelajar pancasila yang sesungguhnya, yaitu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, kreatif, bernalar kritis, gotong royong, mandiri. dan berkebinekaan global.
Miskonsepsi ketiga yaitu anggapan jika guru selalu benar. Mereka menganggap dirinya lebih kompeten daripada muridnya sehingga gengsi dan tidak mau mengakui kesalahan atau kekurangmampuannya. Selain itu, banyak guru yang  berada pada zona nyaman tanpa memperbaiki kualitas dan kinerjanya. Seperti contoh jika siswa terlambat mendapat hukuman, tetapi jika guru yang terlambat tidak masalah, siswa diminta mengikuti  berbagai lomba tetapi gurunya tidak pernah mengikuti lomba bahkan kegiatan apapun termasuk woskshop, guru cuek dan tidak pernah memberi motivasi ke murid  bahkan cenderung menyalahkan jika murid melakukan kesalahan. Konsep merdeka belajar yang sesungguhnya guru melaksanakan sesuai semboyan dari Ki Hajar Dewantara, yaitu Ing ngarso sung tulodho (di depan memberi contoh). Ing madyo mangun karso, (di tengah memberi semangat). Tut Wuri Handayani, (di belakang memberi dorongan). Guru harus bisa menjadi teladan bagi anak didiknya. Sebagai contoh guru bisa menghargai waktu, jika tidak mau muridnya terlambat, guru harus memberi contoh yang baik dengan datang lebih awal.  Tak lupa selalu memberi semangat dan motivasi kepada peserta didik dalam mencapai impiannya.  Guru juga harus bisa mendorong siswa untuk terus maju menggapai cita-citanya.
Miskonsepsi keempat guru beranggapan sudah mengajar dengan benar tetapi kenyataannnya pembelajaran masih teacher center  belum student center. Meski pembelajaran sudah melibatkan siswa melalui diskusi misalnya tetapi di situ guru tetap yang dominan, masih menjelaskan materi dan tidak memberikan kebebasan kepada murid untuk  menentukan tujuan, memberi pilihan cara, dan melakukan refleksi terhadap proses dan hasil belajar. Padahal yang sesungguhnya semua kegiatan tersebut dilakukan oleh murid, guru hanya sebagai fasilitator yang tidak merenggut hak-hak murid. Guru menerapkan pendidikan yang berpusat pada anak sehingga anak menjadi lebih kreatif dan inovatif dengan mampu menghasilkan gagasan yang orisinil serta menghasilkan karya dan tindakan yang orisinil.
Miskonsepsi kelima guru merasa orang yang pandai sehingga tidak perlu melibatkan hal lain dalam pembelajaran (lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat). Guru beranggapan jika ia memiliki peran dominan dalam pembelajaran sehingga kelas adalah miliknya tanpa harus dicampuri pihak lain. Selain itu, guru beranggapan ia paham betul akan siswanya, paham akan kebutuhannya tanpa perlu memberdayakan konteks dalam pembelajaran. Akan tetapi kenyataannya berbeda, menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan budi pekerti yang utama ditanamkan dalam keluarga sehingga guru harus bisa menjalin kerjasama dengan orang tua untuk menuntun laku murid sesuai kodratnya. Guru juga harus bisa memberdayakan konteks agar anak bisa berkolaborasi, peduli dan berbagi (gotong royong) serta mengenal dan menghargai  budaya, kemampuan komunikasi interkultural dalam berinteraksi dengan sesama, reflekdi dan tanggung jawab terhadap pengamalan kebhinekaan (berkebhinekaan global). Pendidikan karakter akan tumbuh dan berkembang dalam konteks lingkungannya.
Setelah saya mengikuti diktat CGP dan mempelajari modul 1.1 saya semakin paham dengan konsep merdeka belajar menurut pemikiran KHD secara lebih gamblang. Ternyata guru tidak hanya mengajar murid tapi juga mendidik dengan cara menerapkan merdeka belajar yang sesungguhnya. Guru menuntun anak sesuai kodrat alam dan zamannya, guru adalah petani yang menyemai benih agar berkualitas, menanamkan budi pekerti, menerapkan pembelajaran berorientasi dan berhamba pada anak. Guru harus melakukan perubahan karena pendidikan itu dinamis. Selain itu juga harus bisa menjadi contoh yang baik (Ing ngarsa sung tuladha), mengarahkan siswa tanpa mengubah kodratnya (Ing madya mangun karsa), mendorong dan memotivasi siswa untuk maju (Tut wuri handayani). Sekarang zamannya IT jadi saya harus berlari mempelajarinya untuk mengejar ketertinggalan agar minimal setara dengan keterampilan murid. Pendidikan juga tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Kebudayaan untuk memperkuat peradaban bangsa menuju Indonesia emas 2045 dengan menanamkan nilai-nilai budi pekerti agar menjadikan anak sebagai Profil Pelajar Pancasila.
Berdasarkan miskonsepsi-miskonsepsi di atas  menuntut saya sebagai CGP untuk meluruskan dan memperbaiki sehingga bisa menjadi agen transformasi di dunia pendidikan. Saya dan guru-guru di Indonesia harus melakukan perubahan-perubahan yang positif. Rencana yang akan saya lakukan ke depan adalah menjadi pemimpin pembelajaran. Pemimpin yang mampu mengubah pendidikan yang berpusat pada anak, menerapkan berbagai metode pembelajaran sehingga anak aktif, menuntun anak sesuai kodrat alam dan zaman, tidak lagi ada hukuman, membuat permainan, menjadi fasilitator, menanamkan indahnya perbedaan, memetakan bakat dan minat siswa, serta memanfaatkan teknologi lebih maksimal. Selain itu saya juga akan menanamkan karakter siswa karena pendidikan karakter yang berkualitas menciptakan budaya karakter yang terintegrasi mendukung dan menantang murid serta orang dewasa untuk berjuang mencapai perkembangan intelektual, sosial, emosional, dan etika terbaik. Simpulannya bahwa anak memiliki kebebasan untuk mengeksplore dirinya sesuai kodrat alam dan zaman dengan tuntunan dari guru untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H