Saat ini, kasus self harm sedang menjadi perbincangan karena tindakan tersebut cenderung menjadi tren. Banyak remaja yang memamerkan tindakan tersebut ke media sosial. Self harm sendiri merupakan tindakan menyakiti diri sendiri secara sengaja untuk mendapatkan kepuasan. Hal ini biasanya dilakukan saat seseorang mengalihkan penyebab stress ke hal negatif. Biasanya self harm dilakukan oleh seseorang menggunakan benda tajam maupun tumpul seperti menjambak rambut, memukul diri sendiri, menyayat dan sebagainya. Dalam beberapa kasus, perilaku self harm ini dapat mengancam nyawa orang tersebut. Jadi hal ini perlu ditangani secara tepat dengan bantuan profesional.
Media sosial, dengan kecanggihan teknologi dan kemudahan berkomunikasi, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari remaja Indonesia. Namun, dalam interaksi mereka di dunia maya, ada risiko bahwa remaja terpapar konten-konten yang mempromosikan self harm. Konten-konten ini dapat berupa gambar, video, atau tulisan yang memperlihatkan tindakan melukai diri sendiri.
Self harm di media sosial saat ini menjadi sarana yang bersifat ajakan. Sangat miris melihat maraknya self harm yang secara terang-terangkan diabadikan dan dibagikan di media sosial. Tindakan self harm di media sosial ini dikhawatirkan bisa mengganggu bagi yang melihatnya apalagi  untuk orang-orang yang sebelumnya telah mengalami depresi.Â
Tren self harm di media sosial bukan hanya sekadar perilaku individu, tetapi juga menjadi suatu bentuk ekspresi diri di tengah tekanan sosial. Terkadang, remaja merasa bahwa dengan menunjukkan tindakan tersebut, mereka dapat mendapatkan perhatian atau dukungan yang mereka butuhkan.
Seseorang melakukan self harm sebagai cara untuk mengatasi atau mengurangi rasa sakit emosional yang mendalam. Ketidakmampuan individu dalam menyelesaikan masalah dan menghadapi suatu permasalahan menyebabkan terjadinya stres dan tekanan yang menimbulkan emosi negatif dan afek negatif. Stres yang berdampak terhadap emosi negatif yang tidak terkendali dapat membuat individu melakukan perilaku yang dapat merugikan diri sendiri, seperti melukai diri sendiri.Â
Remaja mungkin tidak sepenuhnya menyadari dampak negatif dari perilaku self harm. Stigma terhadap penyakit mental masih cukup kuat di masyarakat Indonesia. Remaja yang mengalami masalah kesehatan mental mungkin enggan mencari bantuan secara terbuka. Sebagai gantinya, mereka mencari pelarian dalam perilaku self harm yang dapat diungkapkan melalui media sosial. Remaja mungkin tidak sepenuhnya menyadari dampak negatif dari perilaku self harm Terlebih lagi, kurangnya edukasi tentang kesehatan mental membuat mereka lebih rentan terhadap pemahaman yang keliru tentang cara mengatasi tekanan dan stres.
Adapun penyebab remaja melakukan self harm adalah karena stress dan depresi, kebanyakan mereka merasa putus asa dan frustasi terhadap masalah yang tengah dihadapinya, sulit mengekspresikan emosi dan perasaan  Pemicu yang paling umum adalah penolakan atau perasaan ditinggalkan dari lingkungan seperti ditolak pacar dan teman. Selain itu, faktor risiko lainnya meliputi tekanan emosional yang menyedihkan seperti merasa menjadi beban orang lain, cemas dan stres di sekolah, rasa terisolasi atau tidak memiliki teman dan konflik keluarga, perbandingan sosial seperti kondisi ekonomi yang rendah, hubungan teman sebaya yang tidak sehat seperti pernah menjadi korban bullying, rendahnya harga diri, memiliki riwayat gangguan depresi dan kecemasan, sehingga mereka melampiaskannya ke hal negatif seperti self harm.Â
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah perilaku self harm pada remaja. Selain meminta bantuan, hal lain yang dapat dilakukan adalah melakukan self care atau merawat diri sendiri, seperti meluangkan waktu untuk berolahraga, membaca buku, menuliskan pikiran dan perasaan yang mengganggu, atau dengan melakukan relaksasi. Bisa juga melakukan hal-hal lain yang membuat kamu senang serta menjauhi hal-hal yang memicu stres.Â
Terakhir, kunci dari penanganan self harm adalah mengembangkan mekanisme koping atau cara untuk menanggulangi stres secara positif, cara mengurangi stres, dan keterampilan untuk berkomunikasi dengan bantuan orang terdekat ataupun profesional seperti psikiater atau psikolog. Hal tersebut harus didukung dengan lingkungan yang baik. Peran orang tua, guru, dan orang terdekat sangat dibutuhkan untuk membantu mencegah perilaku self harm. Oleh karena itu, memastikan bahwa remaja merasa diperhatikan dan didukung, atau bahwa mereka merasa "diterima" di rumah maupun sekolah, bisa jadi satu cara untuk melindungi mereka dari tindakan self harm.
Tren self harm di kalangan remaja Indonesia melalui media sosial adalah isu serius yang memerlukan perhatian bersama. Melibatkan berbagai pihak, termasuk sekolah, platform media sosial, serta keluarga, dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi generasi muda. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang penyebab dan langkah-langkah pencegahan, kita dapat bersama-sama melawan tren negatif ini dan memastikan kesejahteraan mental remaja.