Mohon tunggu...
indriyas
indriyas Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

ibu rumah tangga, blogger, content writter, freelancer http://www.indriariadna.com http://meubelmart.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Pertama Sekolah di Pulau Kalimantan

16 Juli 2016   23:26 Diperbarui: 16 Juli 2016   23:52 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi saya pribadi, mengantar anak semata wayang saya ke sekolah adalah kewajiban saya dan sekaligus hak anak saya untuk mendapatkannya. Semenjak playgroup hingga sekarang, antar jemput sekolah itu pasti dan harga mati. 

Mengapa ?

1. Jarak

Saat masih di Semarang, jarak antara tempat tinggal kami dan sekolah anak saya terhitung jauh bagi seorang anak berusia 5 tahun. Banyak teman-temannya yang apabila orang tuanya tidak sempat diantar maka di antar oleh babysitter, tukang becak langganan dan mobil antar jemput. Karena saya tidak mempunyai babysitter, tidak mempunyai tukang becak langganan dan tidak mendaftar di mobil antar jemput, maka sejak "hari pertama sekolah" saya mengantarkan anak saya sendiri. Tanpa perwakilan, bukan karena apa-apa. Lebih karena saya ingin melihat dia memasuki gerbang sekolah dengan dukungan dari orang tuanya.

2. Balas dendam

Bukan balas dendam seperti di film-film itu, tetapi ini balas dendam kebaikan. Dulu saat saya bersekolah, mulai dari TK hingga kuliah, jarang sekali ibu saya bisa mengantar saya bersekolah. Saya sih maklum-maklum saja karena ibu saya seorang wanita pekerja. TK sampai SMP saya berjalan kaki PP. Menginjak SMA saya harus naik daihatsu karena jarak sekolah yang jauh. Kuliah saya sudah harus naik motor sendiri karena tempat perkuliahan saya tidak di lewati oleh kendaraan umum. Maka dari itu, sebisa dan sedapat mungkin saya ingin selalu mengantarkan anak saya sekolah supaya dia bisa mengenang saya dengan lebih baik kelak.

3. Interaksi antar orang tua murid

Saat anak saya playgroup sampai kelas 5 SD di Semarang dulu, terus terang saya kurang berinteraksi dengan orang tua murid lain karena setelah mengantar anak saya harus segera berangkat bekerja. Interaksi antar orang tua saya rasakan kehangatannya saat anak saya kelas 1 SMP, tahun lalu. Terutama saat menunggu anak-anak pulang sekolah dan pintu gerbang di buka. Parkiran motor di depan sekolah penuh semua dan sebagian besar adalah emak-emak seperti saya. Biasalah kalau emak-emak ngumpul, banyak hal yang tidak penting kemudian rame di bahas dan tiba-tiba menjadi penting.

4. Mengenal wali kelas dan guru-guru yang lain

Kebiasaan baik yang saya tandai dari sekolah anak saya di Semarang dulu adalah, saat jam pulang sekolah, semua murid-murid berbaris di depan kelas dan kemudian di bimbing oleh wali kelas masing-masing berjalan menuju pintu gerbang. Sehingga orang tua murid yang menjemput akan tahu 'wajah' wali kelas anaknya. Dan juga orang tua murid bisa mengenali teman-teman sekelas anaknya [paling tidak]. Saat ingin berkonsultasi pun kita tidak akan salah mengenali guru yang lain.

5. Orang tua bisa melihat keadaan sekolah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun