Indri Yanti Panjaitan (6670210046), Anjelina Margaretha Wea (6670210047), Desya Nur Arfiani (6670210073)
Terorisme merupakan fenomena yang kompleks dan terus menjadi ancaman serius bagi ketahanan nasional Indonesia. Secara definisi, terorisme melibatkan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang disengaja, dengan tujuan politik, ideologis, atau religius. Serangan- serangan teroris sering kali menargetkan warga sipil dan non-kombatan untuk menciptakan ketakutan dan ketidakamanan yang meluas dalam masyarakat. Tujuan dari tindakan kekerasan ini tidak hanya untuk menyebabkan kerusakan fisik atau kematian di antara korban langsung, tetapi juga untuk menciptakan dampak psikologis yang lebih luas, mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat dan mengganggu stabilitas nasional (Hoffman, 2017). Di Indonesia, sejarah terorisme mencakup serangkaian insiden yang menunjukkan karakteristik ini. Contohnya, serangan bom yang mengguncang Bali pada tahun 2002, yang menewaskan lebih dari 200 orang dan melukai ratusan lainnya, adalah salah satu yang paling berdampak. Serangan ini diatur dengan cermat untuk menimbulkan kerusakan besar di antara turis asing dan penduduk setempat, serta untuk menciptakan ketakutan yang meluas di seluruh negeri. Serangan-serangan lain seperti pengeboman di Hotel JW Marriott Jakarta pada tahun 2003, serta serangan bom di Surabaya pada tahun 2018 yang melibatkan keluarga yang membawa anak-anak mereka, juga menunjukkan bahwa terorisme di Indonesia bukanlah fenomena yang terisolasi atau sesaat (Sarwono, 2012).
 Diagram Data Jumlah Korban Terorisme di Indonesia
Tindakan terorisme tidak hanya memiliki dampak langsung terhadap korban dan keluarga mereka, tetapi juga dapat mengganggu perekonomian, menghambat perkembangan sosial, dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap otoritas pemerintah. Respons terhadap terorisme bukan hanya tentang menanggulangi ancaman secara militer atau keamanan, tetapi juga tentang membangun ketahanan masyarakat, memperkuat kerjasama internasional, dan menghadapi tantangan ideologis yang menjadi basis bagi kelompok-kelompok teroris. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia telah bekerja keras untuk meningkatkan kapasitas keamanan dalam menghadapi ancaman terorisme, termasuk dengan meningkatkan kerjasama regional dan internasional dalam pertukaran informasi intelijen dan strategi kontra-terorisme. Pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusannya dengan merancang kebijakan pemberian kompensasi kepada korban terorisme. Langkah penting dalam upaya ini adalah penerbitan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, yang mengubah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang ini mencakup berbagai aspek penanganan terorisme, termasuk pemberian kompensasi kepada korban. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, korban terorisme berhak menerima kompensasi, restitusi, serta bantuan medis dan psikologis. Kompensasi ini mencakup biaya perawatan medis, rehabilitasi, dan penggantian kerugian materiil akibat serangan teroris (Paamsyah et al., 2023).
Salah satu poin penting yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 adalah penjelasan mengenai tipologi korban terorisme, yang dikategorikan menjadi dua yaitu korban langsung dan korban tidak langsung. Korban langsung didefinisikan sebagai individu yang mengalami kerugian fisik, psikologis, atau material secara langsung akibat tindakan terorisme. Ini termasuk orang-orang yang terluka, kehilangan anggota tubuh, mengalami trauma psikologis, atau kehilangan harta benda karena serangan teroris. Korban langsung berhak mendapatkan kompensasi finansial, perawatan medis, dukungan psikologis, dan bantuan rehabilitasi sosial serta ekonomi. Kompensasi ini mencakup biaya perawatan medis dan rehabilitasi untuk pemulihan fisik dan mental, serta penggantian kerugian materiil. Sedangkan, korban tidak langsung adalah individu yang tidak mengalami kerugian secara langsung tetapi terkena dampak dari tindakan terorisme. Ini termasuk anggota keluarga atau kerabat korban langsung yang mengalami dampak psikologis, sosial, atau ekonomi akibat insiden terorisme. Korban tidak langsung juga berhak mendapatkan dukungan, termasuk bantuan psikologis untuk mengatasi trauma yang dialami akibat kehilangan atau cedera anggota keluarga, serta bantuan ekonomi untuk mengurangi dampak finansial dari insiden tersebut.
Meninjau dari poin tersebut, pembagian klasifikasi korban terorisme menjadi dua dirasa masih terlalu sempit dan terbatas dalam mendeskripsikan kompleksitas dampak terorisme. Klasifikasi kurang mengakomodasi seluruh spektrum korban yang terkena dampak dari aksi terorisme, seperti korban tersier yang mungkin tidak berada di lokasi kejadian langsung dan bukan kerabat dari korban, namun secara tidak langsung ikut terpengaruh dan mengalami kerugian. Korban tersier mencakup komunitas atau masyarakat luas yang mengalami ketakutan, perubahan perilaku, dan gangguan sosial-ekonomi akibat tindakan terorisme. Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal di sekitar area serangan sering kali menghadapi penurunan ekonomi dan merasa kurang aman secara signifikan. Lebih dari itu, tindakan terorisme tidak hanya berdampak pada korban langsung dan tidak langsung, tetapi juga memiliki dampak sosial-ekonomi yang meluas terhadap sektor-sektor kunci seperti ekonomi, pendidikan, dan layanan publik. Misalnya, serangan terorisme dapat menyebabkan penurunan investasi, berkurangnya jumlah wisatawan, serta gangguan pada layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Komunitas yang terkena dampak ini memerlukan perhatian khusus dan dukungan yang tidak selalu tercakup dalam klasifikasi tradisional korban yang diatur dalam undang-undang.
Oleh karena itu, meskipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 telah mencakup beberapa aspek penting dalam memberikan kompensasi kepada korban terorisme, tipologi korban yang saat ini terlalu sempit mengabaikan kompleksitas dan luasnya dampak yang dihasilkan oleh tindakan terorisme. Pemerintah harus mempertimbangkan untuk memperluas definisi korban dalam undang-undang ini agar mencakup korban sekunder dan tersier, serta mencakup dampak sosial-ekonomi yang lebih luas. Langkah ini akan memberikan perlindungan dan dukungan yang lebih komprehensif bagi semua individu dan komunitas yang terdampak oleh terorisme. Dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2018 mengenai pemberian kompensasi kepada WNI korban terorisme di luar NKRI juga menghadapi tantangan terkait tidak tepatan definisi korban terorisme. Pertanyaan mendasar adalah apakah kompensasi tersebut mencakup semua WNI yang menjadi korban terorisme di luar negeri atau hanya mereka yang terkena dampak langsung di wilayah tertentu. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur tentang fasilitas repatriasi bagi WNI yang menjadi korban terorisme di luar NKRI, namun implementasinya belum terlaksana sepenuhnya karena kurangnya pedoman yang jelas. Kesulitan lainnya adalah ketiadaan koordinasi yang efektif antara lembaga atau badan yang berwenang dalam penanggulangan terorisme di dalam dan luar negeri. Hal ini mengakibatkan perlunya definisi yang lebih komprehensif untuk mengidentifikasi siapa yang layak menerima kompensasi dan fasilitas repatriasi ini. Upaya perlu dilakukan untuk memperjelas definisi korban terorisme, mengoordinasikan kebijakan antara berbagai pihak terkait, serta memastikan bahwa WNI yang terlibat sebagai korban terorisme di luar NKRI juga mendapatkan perlindungan dan bantuan yang sesuai dengan hak mereka.
Selain itu, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 yang mengatur secara rinci mekanisme dan prosedur pemberian kompensasi kepada korban tindak pidana terorisme, baik yang terjadi sebelum maupun setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Korban dapat mengajukan permohonan kompensasi melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang akan melakukan verifikasi dan penilaian terhadap setiap permohonan tersebut. Peraturan Pemerintah ini mengelompokkan korban terorisme menjadi tiga kategori utama. Pertama, korban masa lalu mencakup individu yang telah mengalami kejadian terorisme sebelum berlakunya regulasi ini dan masih memerlukan dukungan serta rehabilitasi. Kedua, korban terorisme akan datang merujuk kepada individu yang berpotensi menjadi korban di masa depan, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia, dan perlu mendapatkan perlindungan serta pendampingan yang tepat. Ketiga, korban terorisme luar wilayah NKRI mencakup Warga Negara Indonesia yang menjadi korban tindak terorisme di luar batas negara ini dan membutuhkan kompensasi serta fasilitas repatriasi. Peraturan ini juga mengatur dengan jelas mekanisme pengajuan klaim kompensasi, persyaratan yang harus dipenuhi oleh korban, dokumen yang diperlukan, serta proses evaluasi dan penyaluran bantuan kepada korban.
Salah satu kritik utama untuk Peraturan Pemerintah tersebut adalah pada pendekatan yang masih terlalu reaktif dalam proses pengajuan kompensasi. Peraturan ini mengharuskan korban terorisme untuk mengajukan permohonan kompensasi secara aktif. Hal ini berarti bahwa proses penyaluran bantuan hanya dimulai setelah adanya inisiatif dari pihak korban, yang kadang-kadang bisa memakan waktu berharga dalam situasi darurat atau keadaan krisis. Idealnya, pemerintah juga harus memiliki mekanisme proaktif untuk mengidentifikasi korban potensial dan memberikan bantuan secara langsung, tanpa harus menunggu permohonan dari korban. Selain itu, kecepatan tanggapan dalam menanggapi kebutuhan korban terorisme perlu ditingkatkan. Proses evaluasi dan penyaluran kompensasi dalam PP ini terkadang memerlukan waktu yang cukup lama, yang dapat memperburuk situasi dan memperlambat pemulihan korban. Lebih lanjut, sistem monitoring dan evaluasi yang lebih ketat juga diperlukan untuk memastikan bahwa bantuan yang disediakan benar-benar mencapai korban yang membutuhkan, dan tidak terjadi penundaan yang tidak perlu dalam proses penyaluran kompensasi.
Selain kritik terhadap responsivitas dan kecepatan mekanisme pengajuan kompensasi, salah satu aspek lain yang perlu diperhatikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 adalah kurangnya sosialisasi dan informasi yang memadai kepada masyarakat mengenai program kebijakan kompensasi ini. Banyak korban terorisme mungkin tidak mengetahui adanya program ini atau tidak memahami dengan jelas bagaimana cara mengajukan permohonan kompensasi. Kurangnya sosialisasi dapat mengakibatkan dua hal utama. Pertama, korban terorisme yang berhak atas kompensasi mungkin tidak menyadari hak mereka untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, sehingga mereka tidak mengambil langkah untuk mengajukan permohonan. Kedua, bahkan jika mereka mengetahui tentang program kompensasi, kurangnya informasi yang jelas dapat membuat proses pengajuan menjadi lebih rumit dan membingungkan bagi korban. Pentingnya sosialisasi yang efektif adalah agar semua pihak yang terkena dampak terorisme dapat dengan mudah mengakses informasi tentang hak-hak mereka dan prosedur yang harus diikuti untuk mendapatkan kompensasi yang pantas. Ini termasuk menyebarkan informasi melalui saluran komunikasi yang luas, seperti media massa, situs web pemerintah, dan pertemuan langsung dengan komunitas yang terdampak. Dengan meningkatkan sosialisasi dan pendidikan publik mengenai program kompensasi ini, pemerintah dapat memastikan bahwa semua korban terorisme yang memenuhi syarat mendapatkan akses yang setara dan adil terhadap bantuan yang mereka perlukan. Ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan korban secara individual, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam memberikan perlindungan dan dukungan dalam situasi yang sulit akibat tindak terorisme.
Di samping itu juga, ada juga Surat Kementerian Keuangan Nomor S-775/MK.02/2020 tentang Satuan Biaya Masukan Lainnya Penghitungan Kompensasi dan Santunan Korban Terorisme. Surat ini sendiri  memunculkan ketidakadilan karena hanya mengakomodasi kompensasi bagi korban terorisme di masa depan, sementara mengabaikan korban masa lalu. Kebijakan ini mencerminkan kesenjangan yang signifikan dalam perlakuan terhadap korban, karena korban terorisme masa lalu juga mengalami kerugian materiil yang signifikan dan sering harus berjuang sendiri untuk memulihkan diri. Mereka harus menanggung biaya pengobatan dan konseling tanpa dukungan yang memadai dari negara, yang menunjukkan ketidakadilan yang sistematis. Korban terorisme masa lalu menghadapi beban ganda: trauma yang mendalam dan ketidakpastian finansial. Banyak dari mereka kehilangan kemampuan untuk bekerja atau mendapatkan penghasilan serta menghadapi stigma sosial yang berkepanjangan. Ketidakadaan kompensasi bagi mereka menambah penderitaan dan memperparah ketidaksetaraan yang mereka alami. Kebijakan yang hanya memfokuskan pada korban masa depan tanpa memperhatikan korban masa lalu mencerminkan kegagalan dalam memenuhi prinsip-prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Berbeda dengan Indonesia, Amerika Serikat sendiri memiliki mekanisme pemberian kompensasi yang lebih komprehensif untuk korban terorisme. Di Amerika Serikat, Office for Victims of Crime (OVC) adalah lembaga khusus yang memberikan dukungan finansial dan layanan lainnya bagi korban kejahatan, termasuk terorisme. Kompensasi yang diberikan mencakup biaya medis, konseling psikologis, dan kehilangan pendapatan akibat ketidakmampuan bekerja. Layanan yang komprehensif ini memastikan bahwa kebutuhan fisik dan psikologis korban dapat dipenuhi dengan baik, membantu mereka untuk pulih secara holistik. Inggris: Inggris juga memiliki sistem kompensasi yang sangat terstruktur melalui Criminal Injuries Compensation Authority (CICA). CICA memberikan kompensasi kepada korban kejahatan termasuk terorisme, yang mencakup biaya medis, terapi psikologis, serta kerugian ekonomi lainnya. Sistem di Inggris memastikan bahwa korban mendapatkan dukungan yang dibutuhkan untuk memulihkan diri, baik dari segi fisik maupun psikologis. Ini menunjukkan pendekatan yang lebih holistik dalam menangani dampak terorisme pada korban. Dari perbandingan ini, terlihat bahwa Indonesia masih memiliki beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam hal pemberian kompensasi bagi korban terorisme. Penting bagi Indonesia untuk membentuk lembaga khusus yang menangani kompensasi korban terorisme dan memperluas cakupan kompensasi untuk mencakup kerugian psikologis. Dengan begitu, korban terorisme di Indonesia dapat menerima dukungan yang lebih komprehensif untuk pemulihan mereka. Bukan hanya tentang kerugian fisik saja tapi kerugian psikologi juga perlu untuk diberikan kepada korban terorisme dan hal ini tidak ada di kebijakan pemberian kompensasi untuk korban terorisme di Indonesia.
Adapun aksi terorisme sendiri memiliki dampak yang luas dan mendalam, tidak hanya terhadap korban langsung, tetapi juga terhadap masyarakat secara keseluruhan. Dari segi ekonomi, tindakan teror yang mengakibatkan kematian, kecacatan, dan kerusakan materi pada korban pasti memberikan beban ekonomi yang besar kepada korban dan keluarganya (Tumanggor & Dariyo, 2021). Ketika aksi teror terjadi dan menyebabkan kematian, kecacatan, dan kerusakan materi, efek yang dirasakan tidak hanya bersifat fisik dan emosional, tetapi juga sangat signifikan dari segi ekonomi. Korban yang meninggal dunia meninggalkan keluarga yang mungkin kehilangan pencari nafkah utama, sehingga menimbulkan kesulitan keuangan yang serius. Dalam kasus kecacatan, korban mungkin memerlukan perawatan medis jangka panjang, rehabilitasi, atau penyesuaian dalam kehidupan sehari-hari yang memerlukan biaya tinggi. Selain itu, korban mungkin tidak bisa bekerja lagi atau produktivitasnya menurun drastis, yang berarti kehilangan sumber pendapatan.
Kerusakan materi, seperti hancurnya rumah, kendaraan, atau harta benda lainnya, juga menambah beban ekonomi. Korban dan keluarganya harus mengeluarkan biaya besar untuk memperbaiki atau mengganti barang-barang yang rusak. Jika serangan terjadi di tempat kerja, bisnis bisa mengalami kerugian besar karena gangguan operasional atau rusaknya aset-aset penting. Semua faktor ini menunjukkan bahwa aksi terorisme menimbulkan dampak ekonomi yang sangat berat bagi korban dan keluarganya. Mereka harus berjuang tidak hanya dengan trauma dan kehilangan, tetapi juga dengan beban finansial yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi keluarga dalam jangka panjang. Dalam hal pemberian kompensasi yang sebanding dengan dampak yang dialami korban, hal ini akan memberikan rasa keadilan kepada mereka. Dengan demikian, hal ini dapat mendukung penguatan ketahanan nasional secara keseluruhan.
Memberikan kompensasi yang adil dan seimbang kepada korban berdasarkan dampak yang mereka alami sangat penting. Hal ini dikarenakan apabila korban mendapatkan kompensasi yang sesuai dengan penderitaan dan kerugian yang mereka hadapi, mereka akan merasa mendapatkan keadilan atau "sense of justice". Rasa keadilan ini penting karena membantu korban merasa diakui dan dihargai oleh negara atau masyarakat, yang pada gilirannya dapat mengurangi rasa frustrasi, marah, atau ketidakpuasan. Ketika korban merasa diperlakukan dengan adil, mereka lebih mungkin mendukung dan mempercayai pemerintah atau sistem yang ada. Kompensasi yang adil juga dapat membantu korban pulih secara ekonomi dan psikologis, yang penting untuk stabilitas sosial. Ketika individu dan keluarga dapat pulih dari dampak negatif yang mereka alami, mereka bisa kembali berfungsi secara normal dalam masyarakat. Maka dari itu, memberikan kompensasi yang adil kepada korban tidak hanya membantu mereka secara individu, tetapi juga memperkuat ketahanan nasional. Dengan masyarakat yang merasa adil dan didukung, ikatan sosial dan kepercayaan terhadap pemerintah meningkat, sehingga negara menjadi lebih kuat dan stabil menghadapi berbagai tantangan.
Memberikan kompensasi yang adil kepada korban tidak hanya membantu mereka secara individu tetapi juga membawa dampak positif yang signifikan bagi masyarakat. Pertama, hal ini meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, karena mereka melihat bahwa pemerintah bertindak adil dan peduli. Selain itu, rasa keadilan yang dirasakan oleh korban memperkuat solidaritas sosial, membuat masyarakat lebih bersatu. Dengan memberikan kompensasi yang sesuai, ketegangan dan potensi konflik sosial dapat dikurangi, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih harmonis. Dari segi ekonomi, kompensasi membantu korban untuk pulih dan kembali berkontribusi pada ekonomi lokal, yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Dampak ini juga berkontribusi pada stabilitas dan keamanan nasional, karena masyarakat yang merasa adil dan diperhatikan cenderung mendukung upaya pemerintah dalam menjaga ketertiban. Terakhir, rasa keadilan memberikan dampak positif pada kesejahteraan mental dan emosional, tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, memberikan kompensasi yang adil tidak hanya memulihkan individu tetapi juga memperkuat ketahanan dan kesejahteraan nasional. Aksi terorisme membawa beban ekonomi yang besar bagi korban dan keluarganya, termasuk biaya pengobatan, kehilangan pendapatan, dan kerusakan materi. Memberikan kompensasi yang sebanding dengan dampak yang dialami korban tidak hanya memberikan rasa keadilan kepada mereka, tetapi juga memiliki dampak positif yang luas bagi masyarakat. Hal ini meningkatkan kepercayaan terhadap pemerintah, memperkuat solidaritas sosial, mengurangi ketegangan dan konflik sosial, membantu pemulihan ekonomi lokal, dan berkontribusi pada stabilitas serta keamanan nasional. Secara keseluruhan, keadilan dalam pemberian kompensasi memperkuat ketahanan dan kesejahteraan masyarakat dan negara.
Kesimpulan
Terorisme adalah ancaman serius bagi ketahanan nasional Indonesia, dengan dampak yang luas dan mendalam terhadap korban langsung, tidak langsung, serta masyarakat secara keseluruhan. Serangan teroris yang menargetkan warga sipil bertujuan untuk menciptakan ketakutan dan ketidakamanan, seperti yang terlihat dalam serangan bom Bali 2002 dan insiden lainnya. Meskipun pemerintah Indonesia telah berupaya meningkatkan kapasitas keamanan dan memperkuat kerjasama internasional, serta menerapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 untuk memberikan kompensasi kepada korban terorisme, klasifikasi korban masih dianggap terlalu sempit. Perluasan definisi korban dan peningkatan sosialisasi mengenai hak-hak mereka sangat diperlukan agar semua yang terkena dampak bisa mendapatkan dukungan yang layak. Kebijakan yang lebih proaktif dan adil, seperti yang diterapkan di negara lain, diperlukan untuk memastikan bahwa semua korban, baik masa lalu maupun masa depan, mendapatkan kompensasi yang sesuai. Kompensasi yang adil tidak hanya membantu pemulihan korban secara individu tetapi juga memperkuat solidaritas sosial dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, yang akan  meningkatkan ketahanan nasional.
Daftar Pustaka
Hoffman, B. (2017). Inside Terrorism (Columbia studies in terrorism and irregular warfare, Ed.; Third Edition). Columbia University Press.
Paamsyah, J., Irawan, H., Feprizon, H., Perdana, A., & Jainah, Z. O. (2023). Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia. Journal Of Sosial Science Research , 3(6).
Sarwono, S. W. (2012). Terorisme di Indonesia: Dalam Tinjauan Psikologis. Pustaka Alvabet.
Tumanggor, E., & Dariyo, A. (2021). Economic impacts of terrorism: Evidence from Indonesia. Journal of Economics and Business, (567-581. https://doi.org/10.1016/j.jeconbus.2021.101236
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia. (2021). Strategi Nasional Pertahanan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit Kemenko Polhukam.
Surat Kementerian Keuangan Nomor S-775/MK.02/2020 tentang Satuan Biaya Masukan Lainnya Penghitungan Kompensasi dan Santunan Korban Terorisme
Taskarina, Leebarty.,Veronika, N. W., & Meliala, A. E. LAYERS OF VICTIM: DISKURSUS TENTANG KOMPENSASI KORBAN TERORISME
DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KETAHANAN NASIONAL. Jurnal Lembaga Ketahanan Nasional RI, 10(1), pp 42-56
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H