[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="sumber: kidsklik.com"][/caption] Sekitar 5 tahun lalu, saya harus ke Bandung untuk sebuah perjalanan pribadi pada hari Minggu pagi. Karena badan lelah, saya memutuskan memakai jasa supir harian. Banyak sekali sopir yang bersedia mengantar kalau hanya ke Bandung saja. Lewat teman di Cijantung, saya dapatkan sopir tentara itu sebut saja namanya pak Dedi. Pak Dedi supir yang cekatan. Pk 05.00 dari rumah dan tiba di Bandung sekitar pukul 7 kurang. Mengebut? Entahlah. Saya tertidur di jok belakang. Karena masih pagi saya ajak dia sarapan di sebuah rumah makan yang tak terlalu besar. Kami makan bubur ayam. Saya menyuruhnya makan satu meja saja supaya bisa ngobrol. Awalnya dia kikuk, tapi padanya saya bilang bahwa saya sipil biasa makan satu meja dengan siapapun.
Dia sersan dua dan memulai karir dari bawah. Dari ceritanya saya tahu bahwa dia pernah melayani keluarga Rasyid Qurnuen Aquary, Danjen Kopassus waktu itu. Dia bercerita dengan fasih tentang seluk beluk Bandung karena pak Rasyid memang lama di kota ini. Setelah sarapan, dia mengantar ke tempat pertemuan yang harus saya hadiri.
Pertemuan dengan beberapa orang itu berlangsung sampai sore. Saya turun dari gedung pk 15.00 dan dia sudah menunggu dekat lobby.
”Wah bapak nunggu dari tadi di sini ?
“ Saya ke rumah pak Rasyid. Dia punya rumah di sini dan penjaga rumahnya masih mengenali saya,” katanya.
Kami makan sebentar sebelum kembali ke Jakarta via Cipularang. Tol yang macet minggu sore membuatnya banyak bercerita. Banyak hal di kesatuannya yang dia ungkapkan. Mungkin dia merasa nyaman saja bercerita karena tahu bahwa saya punya banyak teman di korps itu.
“ Sekitar tahun 1996-an ada seorang kolonel yang jadi backing seorang Tionghoa-pengusaha. Konyolnya, pengusaha yang dilindungi itu adalah pengusaha yang berseberangan dengan pengusaha yang dekat oleh Jenderal Prabowo, komandan kami ketika itu” katanya. Saya tahu siapa yang dimaksud.
“Terus?” saya.
“Muka Kolonel itu bengkak, kena pukul sana sini, ” katanya.
“Haaaah? Yang mukul siapa?”
“Ya pak Prabowo. Dia dipukuli dan jenggotnya dicabuti satu satu dengan sebuah alat,” katanya.
Saya menyuruhnya tidak mendeskripsikan perlakuan Jenderal itu lebih lanjut, karena ngeri.
“Pak, bapak tidak bohong ? Saya bisa crosscek lho ke teman-teman ‘di dalam’,” saya. Malas jika cerita-ceritanya hanya sensasi supaya terkesan dia tahu banyak persoalan.
“ Ndak, ndak bohong. Sumpah,” katanya.
“Soal bengkak mungkin bapak tahu ketika berpapasan tapi kalau soal jadi backing pengusaha kan tidak semua orang tahu masalahnya,” saya. Terus terang saya sering mendengar cerita asal bunyi dari sana; yang istri simpanan lah, yang senjata hilang dikasih ke orang sipil-lah.
Kolonel itu yang menjadi korban perilaku tempramen Prabowo itu tidak melakukan pembalasan apapun. Dirinya percaya Tuhan akan membalas semua perbuatan Prabowo tanpa dirinya turun tangan langsung. Dan ternyata benar, tidak berapa lama setelah kejadian itu, Prabowo jatuh, karirnya hancur, dipecat dari kesatuannya karena terbukti melakukan pelanggaran HAM dan dalang kerusuhan Mei 1998.
Kemudian pak Dedi cerita beberapa hal. Saya tak terlalu mendengarkan ceritanya. Saya membayangkan muka kolonel yang bengkak itu jadisansak Prabowo, komandan mereka.
“Pak Prabowo kejam sekali mbak. Tega sama anak buah jika beda pendapat”, kata pak Dedi begitu tahu bahwa saya masih memikirkannya. Dia juga bercerita bagaimana di masa lalu Jenderal itu bergitu digjaya, tak terbantah.
“Ya pak saya tahu. Tapi itu sudah berlalu,” kata saya.
Kini, setiap melewati Cipularang saya ingat cerita itu.
===
*Catatan seorang teman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H