Mencermati lintasan di linimasa FB saya beberapa waktu yang lalu, seperti selebaran Gubernur Jabar di unggah pula di akun Instagram-nya mencari 5.000 pemuda untuk tugas khusus menjadi petani, diberi pinjaman tanah seluas 2.000 M2 tanah yang subur, modal pinjaman disediakan bank bjb dan hasil panen siap ditampung namun bagi saya menimbulkan seribu satu tandatanya?
Menimbulkan tanya yang mengantarkan saya silahturahim ke rumah mbah google tersaji beritanya diberbagai media online tentang 'keberhasilan' smart greenhouse di Garut yang dirintis sejak tahun 2018 oleh Nudira Fresh, unit usaha dari PT. Nudira Sumber Daya Indonesia yang bergerak pada bidang ekspor dan agribismis. Dasar keberhasilan ini, Gubernur Jabar mencanangkan revolusi pertanian 4.0 yang akan dimulai di bulan Februari 2021.
Telihat di kanal youtube, bangunan greenhouse begitu megah di dalamnya telihat sarana dan prasarana produksi palawija modern lengkap dengan aktifitas kerjanya, saya tidak tekesan apalagi bangga dengan greenhouse tersebut bukan suatu inovasi baru, sudah lama dikembangkan di negara-negara empat musim dan negara atau tempat yang tidak subur.
Narasi berita 'keberhasilan' smart greenhouse dan akan dicomot menjadi proyek program revolusi pertanian 4.0 menimbulkan tanya? Bagaimana dengan nasib ratusan ribu petani-petani dan buruh-buruh tani pula sentra-sentra budidaya palawija konvensional yang betebaran di wilayah Jabar?
Apakah tanahnya tidak subur, tidak inovatif dan tidak bisa meningkatkan produksi, kualitas dan kuantitasnya, tidak bisa mengatasi masalah cuaca, tidak layak dikonsumsi? Â
Sesat pikir menganggap petani konvensional tidak bisa berinovasi menanam sepanjang musim, walau sederhana seperti saat musim penghujan tiba memasang naungan sederhana berupa plastik UV untuk menahan curahan air hujan yang tinggi. Pula saat tiba musim kemarau, memasang selang tetes di tengah-tengah buludan.
Penerapan ini biasanya untuk palawija seperti cabe, tomat, brokoli dan lainnya, dengan harapan di saat panen harga jualnya tinggi dipasaran bebas, jikalau murah mereka gulung tikar, namun sering terjadi selagi harga tinggi import masuk, mereka menyerah!
Problem klasik petani palawija sejatinya sudah diketahui para ahlinya ahli dan pemangku kebijakan, bahkan mungkin sudah ada risetnya yakni produk palawija pada posisi tawar rendah, masa panen bertahap, hasil panen beragam, cuaca, daya simpan rendah.
Namun selalu dijawab dengan berbagai macam program seperti pendampingan, bantuan saprodi, saprotran, bibit, benih dan lainnya, serba gratis. Kini disusul program smart greenhouse dengan hasil panen yang akan ditampung, kenapa hasil ratusan ribu petani palawija petani konvensional tidak sekaligus ditampung dan dibenahi pemasarannya, ada apa dibalik ini?
Sejatinya petani dan buruh tani palawija konvensional di desa-desa bukan tidak mampu berinovasi, mengatasi kendala saat musim kemarau dan hujan, mengendalikan hama dan penyakit untuk meningkatkan produksifitas, kualitas dan kuantitas baik cara pengolahan lahan, memilih benih unggul, intensivitas perawatan, penanganan pasca panen harga jualnya tidak terkendali, namun mereka sudah apatis tersebab tidak ada penampung hasil panennya dan membeli dengan harga yang pasti, namun mereka jatuh bangun terus bertani bermimpi suatu waktu dapat keuntungan.