Ketika Indri masuk sekolah di pagi hari yang mendung,sesampainya didalam sekolahan hujan lebat, baru reda saat pelajaran terakhir. Dalam batin Indri berkata “syukurlah hujan renda tadi lupa tidak bawa payung” bel tanda pulang berbunyi, seperti biasa teman-teman Indri berhambur keluar kelas semua ingin segera sampai rumah, pulang. Demikian juga Indri pulang bersama-sama teman-temannya yang satu jurusan. Indri kelas tiga sekolah dasar di pinggir kota, tinggal di desa yang masih asri banyak sekali tanaman pohon yang besar-besar dan dipinggir desa membentang persawahan yang sangat luas di sana juga ada sungai yang jernih mengalir untuk mengairi sawah-sawah Pak Tani.
Dalam perjalan pulang dipertengahan jalan Indri mendengar suara cericit burung kecil, “teman tuh dengar ada anak burung Pipit yang sedang kelaparan dan kedinginan, dimana yaa?”. Indri mencari sumber suara, “oh…itu dibawah sana dibawah pohon besar, kasihan sekali kedinginan, teman tolong tunggu ya Indri mau nolong mereka kasihan?” sambil menuruni lereng dipinggir jalan “aduh…” teriak Indri hampir terpeleset lerengnya licin, kena air hujan.
“Pipit kecil kamu jatuh yaa dari atas pohon, kena angin besar yaa tadi…” sambil berusaha menangkap anak burung Pipit yang ngumpet di cekungan pohon, kedinginan. “Pipit, sini aku tolongin yaa..” burung Pipit menghindar saat tangan mungil mau menangkap, dengan hati-hati Indri menangkap satu persatu dimasukkan dalam tas, setelah selesai Indri naik lagi “tolong tarik ini licin…” sambil dibantu temannya menarik tangan Indri, supaya jangan terpeleset waktu naik.
Anak burung Pipit didalam tas diam, mungkin karena hangat, hanya suara lirih satu dua yang terdengar. Pikir Indri “mudah-mudahan Ibu mengijinkan Indri pelihara ini burung sampai bisa terbang nanti”. Setelah sampai dirumah, Indri uluk salam dan mencium tangan Ibu dan Ibu mendengar ada suara burung “lhoo sayang…ada suara anak burung dimana yaa…?” Ibu pura-pura bertanya, lansung Indri cerita tentang pertemuannya dengan anak burung Pipit yang malang kedinginan dibawah pohon besar “oh iya…Bu boleh yaa Indri pelihara burung Pipit ini, kasihan Bu…”.
Ibu Indri bingung “boleh sayang tapi mau ditaruh dimana, kan tidak punya sangkar, terus anak burung ini makannya apa, coba nanti tanya Bapak kalau sudah pulang yaa…”. Indri mengangguk, Ibu melanjutkan “oh yaa…sayang coba ditaruh di dalam besek itu yang di dapur diberi kain biar hangat, tolong ambil” Indri lari ke dapur mengambil besek dan kain bekas ditaruh didalamnya setelah itu anak-anak burung ditaruh didalamnya “sudah sayang ganti baju, cuci tangan dan kaki dulu yaa…jangan lupa makan dulu” jawab Indri “iya Bu sayangku…”.
Setelah selesai makan, tidak begitu lama terdengar suara motor masuk. “asik Bapak sudah pulang…” maka Indri lekas bergegas kedepan menemui bapaknya tidak lupa cium tangan. Langsung Indri nyrocos cerita tentang si anak burung, setelah selesai “Nak, nanti bapak lihat yaa…Indri bapak mau ganti baju dan Sholat dulu yuk…sholat dulu nanti selesai sholat bapak makan setelah itu lihat anak burung, ayoo…tolong siapkan sajadah dan jangan lupa wudlu ajak Ibu juga” sambil mengelus rambut hitam panjang Indri.
“prit…prit…prit…” suara burung dalam besek bersuara bersahutan, kelaparan. “sayang, coba nanti minta sama Ibu, satu sendok beras terus digerus ditambah satu sendok kecil tepung beras, jangan lupa diberi air sedikit-sedikit setelah kental bawa sini yaa…” Indripun mengerjakanya bersama ibu, setelah lembut ditambah tepung beras satu sendok ditaruh dimangkok kecil diberi air masak, agak kental. Dan dibuatkan sendok makan kecil dari daun pisang. “priiit…priiit….priiit” suara burung Pipit bersahutan menunggu diberi makan, oyaa…mulut mereka mendongak-dongak membuka paruhnya minta makan, dan dengan pelan makanan dimasukkan kedalam paruhnya.
Adik-adik, dibawah paruh ada kantong makannya jadi kalau sudah menggelembung berarti sudah kenyang. Kalau sudah kenyang mereka diam. “Indri sayang….ini anak burung sudah kenyang, nanti sore ke pasar beli sangkar burung”, “hore…burung nanti dibelikan rumah, terimakasih Bapak Ibu” senangnya Indri sambil merangkul Ibu dan mencium tangan Bapaknya.
Sorenya selepas mandi dan Sholat Indri sedang siap-siap di dalam kamar mendengar panggilan Bapak “Indri sayang jangan lupa pamit sama ibu, ayoo…berangkat” sahut Indri “sebentar pak…ayoo” maka berangkatlah mereka berdua berboncengan ke pasar yang menjual sangkar burung, setelah mendapat pulanglah mereka. sesampainya di rumah “Ibu…lihat nih tadi Indri yang memilih sangkar kecil ini buat bobo burung kecil, bagus tidak Bu…” Ibu menyahut “anak pintar memilihnya bagus nak, sesuai dengan burung kecil itu, sudah sana anak burung itu dipindah dalam sangkar…”
Dibantu Bapak, Indri menangkap anak burung satu persatu dipindah didalam sangkar yang baru, dan tidak lupa bagian bawahnya diberi kain dibuat seperti sarang burung supaya hangat. Disampingnya ada tempat air dari bekas lemek gelas yang sudah tidak dipakai untuk wadah makanannya dan air.
Saat menjelang sore, anak burung rame lagi, minta makan biasa hari mulai malam anak burung jadi kelaparan “Bapak…si Pipit lapar lagi tuh…boleh Indri yang kasih makan?” Indri sambil bergelayut memegang tangan bapaknya, “boleh…hati-hati yaa sedikit-sedikit yaa..” jawab Bapaknya sambil mengelus rambut sekar yang hitam lebat. Dengan hati-hati satu persatu anak burung diberi makan oleh Indri seperti yang Bapak ajarkan. Dan tidak lupa didalam kandang diberi lampu kecil 5 watt untuk penghangat, karena anak burung belum berbulu tebal.
Tidak terasa perjalanan waktu, anak-anak burung sudah mulai bisa mematuk makan sendiri. kaki sudah kuat berpijak bulu-bulu sudah tebal sayap mengepak dalam sangkar, berterbangan menari ingin lepas keluar dialam bebas. Saat Indri mendekat, burung mendekat dengan suara cericit senang, ingin bebas terbangkeluar. “ayoo…burung pada keluar dari sangkar” Sambil membuka pintu sangkar. Bersambung
.
Balikpapan, 16 September 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H