Macet sudah menjadi hal biasa di Jakarta. Tidak heran bila macet ibarat kejadian yang menyiksa batin karena banyak waktu dan tenaga yang terbuang sia-sia. Banyak kejadian yang aku temui saat tengah berada di kemacetan. Kejadian yang kuingat ketika seorang bapak harus beradu mulut dan beradu fisik dengan pengendara di belakangnya hanya karena saat kondisi macet, pengendara di belakang membunyikan klakson berulang kali. Tentu saja secara psikologis, orang yang terjebak dalam kemacetan berjam-jam memiliki tingkat stres yang tinggi sehingga hal sepele yang dapat menyulut emosi dapat terluapkan secara tiba-tiba. Orang disekitar hanya bisa menjadi penonton dan aku sebagai wanita tentu tidak berani mendekat apalagi melerai mereka. Efeknya kemacetan justru semakin parah karena banyak pengendara yang berhenti untuk melihat mereka berkelahi
Tidak hanya itu, teman ku juga hampir berkelahi dengan pengendara lain saat kondisi macet. Saat itu aku dan teman-teman berencana pergi ke Blok M dan ternyata kami terjebak macet. Di tengah kemacetan tersebut, seorang pengendara motor justru masuk di celah antara mobil yang ku naiki dengan mobil di samping. Kecilnya celah tersebut membuat spion mobil menjadi rusak dan pengendara motor langsung tancap gas. Teman langsung terpancing emosi dan hendak mengejar pengendara tersebut. Untung saja aku bisa meredam emosi dengan berusaha membantu saat proses klaim ke pihak asuransi. Tidak heran bila sumpah serapah atau ungkapan kebun binatang sering kali terdengar ketika orang berada di tengah kemacetan dan mereka tidak mampu menenangkan pikiran. Ini bukti bahwa kemacetan dapat mempengaruhi sikap dan psikologis seseorang.
Hal yang tidak bisa ku lupakan adalah ketika bulan puasa. Bukan rahasia umum lagi jika saat bulan Ramadhan, kemacetan di Jakarta tergolong parah. Ini karena jutaan kendaraan keluar secara bersamaan sehingga kemacetan merata di wilayah Jakarta. Wajar karena mereka umumnya ingin berbuka bersama keluarga atapun merayakan berbuka di suatu tempat. Bahkan ada istilah Macet Massal diantara aku dan teman-teman jika sudah berada di waktu berbuka.
Pernah suatu hari, teman-teman sewaktu sekolah hendak mengadakan buka bersama di salah satu mall besar di kawasan Tebet. Jarak mall tersebut tidak jauh hanya berkisar 7 kilometer dari tempatku namun ketika aku berangkat kesana jam setengah 5 sore justru aku baru sampai jam 7 malam. Artinya acara buka bersama sudah berakhir tanpa diriku. Kesal pasti, tapi harus gimana lagi. Bahkan ada teman yang mengatakan aku pahlawan kesorean, atau Nyonya Takur (istilah polisi di film India yang datang saat penjahat berhasil ditaklukan).
Berbicara kemacetan, sudah pasti tidak terlepas dari volume kendaraan yang besar. Seandainya masyarakat di Jakarta mau berbagi dengan mengajak rekan/teman/orang lain untuk berkendaraan bersama. Tentu hal tersebut menjadi lebih indah dan bermanfaat. Bagaimana tidak, 5 orang berkendaraan dalam 1 mobil tentu saja ikut berkontribusi mengurangi kemacetan dan polusi udara di Jakarta.
Ride Sharing sangat direkomendasikan untuk dilakukan saat ini. Ini karena Jakarta sudah minim lahan parkir, tingkat polusi udara semakin tinggi dan tingkat kemacetan sudah terjadi di seluruh wilayah Jakarta. Saat ini pun, bila harus bepergian tidak terlalu jauh. Aku lebih memilih ride sharing karena dengan berkendaraan bersama lebih aman khususnya para wanita. Bila seorang wanita berkendaraan sendiri, seringkali membahayakan karena banyak kejahatan di Jakarta atau tidak ada yang memback-up bila kendaraan mengalami kerusakan di Jalan.
Saat ini sudah banyak kendaraan online yang menawarkan ride sharing. Keuntungan tidak hanya lebih praktis, ternyata harga yang ditawarkan juga kompetitif. Bahkan banyak promo yang menguntungkan konsumen. Upss, aku juga dapat teman kencan gara-gara ride sharing. Keuntungan lain selain mengurangi kemacetan di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H