Sekolah Kedinasan sekilas ibarat "Ajang Pencarian Bakat", banyak peminat namun hanya sebagian kecil yang diterima. Tidak heran persaingan yang begitu ketat dengan proses seleksi yang panjang memunculkan rasa kebanggaan (prestige) bagi calon siswa ataupun keluarga yang diterima. STIP dan IPDN menjadi cerminan bagaimana sekolah kedinasan mampu mencetak generasi muda yang tidak hanya pintar, gagah/cantik namun juga memiliki mental yang kuat. Rahasianya tidak terlepas dari sistem pendidikan yang menerapkan sistem semi-militer.
Tewasnya Amirulloh Adtyas, siswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) tingkat satu akibat dikeroyok oleh keempat seniornya memunculkan pertanyaan di tengah masyarakat, apakah pengeroyokan dan senioritas yang kerap kali ditemukan di sekolah kedinasan muncul karena penerapan sistem semi-militer di tengah institusi pendidikan? Saya pun tidak berani memberikan kesimpulan terhadap pertanyaan tersebut namun yang pasti tewasnya Amirulloh Adtyas ditangan para senior adalah bukti ketidakmampuan pihak STIP dalam menghilangkan istilah senioritas dan lemahnya perlindungan terhadap taruna baru. Tidak urung, muncul pandangan baru tentang segala aktivitas di lingkup sekolah kedinasan.
1. Merujuk pada kronologis pengeroyokan Amirulloh yang terjadi di Gedung Dormitory ring 4 STIP, Kamar M nomor 205 lantai 2 pada Selasa (10/1) sekitar pukul 22.30 WIB diawali dengan pengumpulan beberapa taruna oleh senior diluar jam kegiatan belajar mengajar, mulai mendapat informasi terang bahwa rutinitas di tengah malam menjadi moment yang tepat bagi taruna senior untuk memberikan "pendidikan/pelatihan" tambahan bagi taruna yunior. Aktivitas di malam hari tentu saja diluar pemantauan dari pihak sekolah serta suasana sepi semakin memberi lampu sinyal hijau bagi taruna senior untuk bertindak sesuka hatinya.
2. Kita tidak asing lagi bila mendengan istilah 2 pasal dimana Pasal 1 : "Senior selalu Benar"; dan Pasal 2 : "Bila senior salah, kembali ke Pasal 1". Pasal ini menunjukkan senior ibarat Raja yang berkuasa atas segalanya dan selalu harus dipandang benar. Kondisi ini yang semakin memperburuk citra sekolah kedinasan yang kerapkali kental dengan istilah senioritas. Siswa/Taruna yang baru seakan berada kandang "singa" dimana ada banyak mata menatap tajam pada siswa/taruna  baru. Tidak heran, korban pengeroyokan umumnya adalah sosok yang dianggap membangkang atau tidak patuh terhadap senior. Hal yang memprihatinkan, korban penganiayaan justru dilakukan lebih dari 1 orang senior. Ini menunjukkan, sikap solidaritas justru disalah artikan dan bahkan yunior bersalah seakan menjadi sasaran empuk sebagai ajang balas dendam. Istilah 2 pasal ini menjadi benteng pertahanan kuat bagi senior karena hak untuk membela diri bagi yunior adalah Nihil.
3. Kadangkala sosok yang dinilai cerdas justru memiliki sisi yang bertolak belakang. Seakan tidak belajar dari kesalahan dan pengalaman para taruna terdahulu, taruna-taruna muda justru ingin menunjukkan taringnya kepada mereka yang lebih muda. Penyesalan memang datang belakangan, namun apadaya kecerdasan intelektual ternyata belum mampu mencerdaskan pikiran seseorang tentang plus dan minus dari tindakan yang dilakukannya.
4. Pemberitaan seakan menjadi cambuk sederhana bagi pemerintah dan pengajar. Sangat sederhana karena disaat muncul blow-up media tentang kasus pengeroyokan atau muncul korban atas senioritas di tengah sekolah kedinasan, pemerintah maupun pengajar mulai kalang kabut dan muncul  janji-janji pembenahan sistem pendidikan dan pengawasan di lingkup sekolah kedinasan. Lalu apa yang terjadi bila tidak muncul korban ataupun blow up media tentang fenomena kekerasan yang kerapkali muncul di lingkup sekolah kedinasan? Tentu aksi senioritas di lingkup sekolah kedinasan hanya menjadi rahasia internal antara aku dan kamu saja (pihak-pihak di dalam sekolah saja).
Hal terpenting adalah mulai ditingkatkan pola pengawasan aktivitas taruna baik selama proses belajar mengajar maupun setelah itu. Bahkan bila dimungkinkan, asrama antara Junior dipisahkan dalam areal berbeda antar tingkat guna mengantisipasi kejadian ini terulang kembali. Hal yang penting adalah, pemberian sanksi tegas kepada pelaku kekerasan serta memberikan perlindungan bagi para korban ataupun pihak-pihak lain bila ingin melaporkan tindak kekerasan yang terjadi di ruang lingkup pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H