Mohon tunggu...
Indri Puspita
Indri Puspita Mohon Tunggu... -

Mahasiswa PGSD FIP UNY

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Agar Hadiah Efektif Bagi Pembentukan Kepribadian Anak

31 Mei 2014   14:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:54 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Rahasia tentang pemberian hadiah dan hukuman dalam dunia pendidikan Sekolah Dasar (SD), menjadi pertanyaan dan keresahan bagi sebagian besar pendidik dan orang tua. Penerapan pemberian hadiah dan hukuman yang tidak jelas konsepnya akan semakin memperburuk kepribadian anak. Awalnya, banyak orang tua dan pendidik beranggapan bahwa masalah pemberian hadiah dan hukuman ini adalah masalah kecil. Namun, dari masalah kecil ini jika sudah menjadi kebiasaan, maka akan dapat membentuk kepribadian anak. Sebagai calon pendidik, seharusnya memiliki kepribadian yang baik agar dapat membentuk anak menjadi pribadi yang baik pula. Karena kepribadian menentukan apakah ia akan menjadi pendidikyang baik bagi anak didiknya ataukah akan menjadi perusak bagi masa depan anak didiknya.

Itu sebabnya, perlu dipelajari dengan baik resepnya. Harus tepat ukurannya. Karena kesalahan membaca resep dan dosis, justru membuat hadiahtidak lagi sebagai obat, tetapi sebaliknya menjadi racun yang menghancurkan kepribadian anak.

Ada beberapa prinsip dalam pemberian hadiah, yaitu pertama penilaian didasarkan pada ‘perilaku’ bukan ‘pelaku’. Bagi yang belum terbiasa, tentunya tidak mudah membedakan antara ‘perilaku’ dengan ‘pelaku’. Istilah dan panggilan semacam ‘anak rajin’, ‘anak saleh’, ‘anak cerdas’ atau ‘anak anak hebat’ yang menunjukkan sifat ‘pelaku’ sebaiknya tidak dijadikan alasan pemberian hadiah, tetapi sebutkan secara langsung perilaku anak yang membuatnya memperoleh hadiah.

Komentar yang diberikan kepada anak seperti “Ibu berikan hadiah ini karena seminggu ini kamu benar-benar menjadi anak rajin”, hanya akan menimbulkan persepsi pada anak bahwa predikat ‘anak rajin’ bisa ada dan bisa hilang. Kalau minggu ini menjadi ‘anak rajin’, bisa jadi minggu depan tidak. Anak baru merasa dianggap rajin ketika mengerjakan sesuatu yang diharapkan orang tua, dan berubah menjadi tidak rajin ketika tidak mengerjakan pekerjaan tersebut.

Padahal, pribadi anak harus senantiasa diyakini sebagai pribadi yang baik, sehingga predikat ‘anak rajin’ harus selalu menjadi haknya, walaupun telah melakukan kesalahan. Karena itu, yang harus ditegur bukanlah pelakunya, melainkan perilakunya. Maka komentar diatas seharusnya bisa diperbaiki dengan menyebutkan perilakunya seperti,”Minggu ini Ibu berikan hadiah untukmu karena kerajinanmu belajar dan mengerjakan PR”

Kemudian jika minggu berikutnya anak tidak belajar dan mengerjakan PR, maka cukuplah berkomentar, “Tidak ada hadiah untukmu di minggu ini, karena kamu terlalu banyak bermain sehingga lupa waktu untuk belajar, anak rajin”. Nah, walaupun perilaku anak memburuk, tetapi predikat ‘anak rajin’ tetap boleh ia sandang, karena sang ‘pelaku’ tetap diyakini sebagai anak baik, tetapi yang disalahkan adalah ‘perilakunya’.

Prinsip pemberian hadiah yang kedua adalah distandarkan pada proses, bukan hasil. Begitu banyak orang lupa, bahwa proses sama pentingnya dengan hasil. Proses yang baik akan menghasilkan hasil yang baik, sebaliknya hasil yang baik belum tentu dari proses yang baik. Proses adalah usaha yang dilakukan anak, sedangkan hasil tidak bisa dijadikan patokan keberhasilan karena ada banyak faktor yang mempengaruhi selain dari usaha anak.

Sebagai contoh, pada Bulan Ramadhan sekolah membuat buku penilaian terhadap aktivitas shalat wajib para siswa SD selama di rumah. Orangtua wajib memberi tanda ‘centang’ jika anak melakukan shalat, dan tanda ‘silang’ jika anak tidak melakukan shalat. Guru akan memberikan hadiah kepada siswa yang memiliki laporan yang baik di buku penilaian tersebut atau dengan kata lain siswa yang rajin melaksanakan shalat 5 waktu. Hal ini dilakukan agar siswa termotivasi.

Namun sayangnya, pihak sekolah tidak mengetahui kejujuran dari pengisian buku tersebut. Apakah orang tua jujur ketika mengisi, atau bahkan siswa sendiri yang diam-diam mengisi tanda ‘centang’ di bukunya. Pihak sekolah tidak mementingkan menilai dari proses, yang penting adalah hasil dari buku pemantauan shalat tersebut. Hal ini akan mempengaruhi pembentukan kepribadian siswa untuk berbuat tidak jujur hanya untuk mendapatkan hadiah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun