Peran Penting Menteri Pendidikan dalam Keterlibatan, Pengalaman, dan Tantangan Reformasi
Seringkali, ketika orang berbicara tentang Menteri Pendidikan, pikiran mereka hanya tertuju pada orang yang memiliki gagasan besar dan berkomitmen untuk mengubah dunia. Namun, apakah itu benar-benar cukup? Menteri pendidikan tidak boleh hanya menjadi "pemimpin yang hebat di atas kertas". Dia harus memiliki tujuan yang lebih besar daripada sekedar membicarakan hal-hal yang menarik. Dia harus benar-benar memahami inti pendidikan, dan satu-satunya cara untuk benar-benar memahami adalah dengan terlibat secara langsung dalam pekerjaan, daripada hanya bergantung pada laporan dari kantor.
Oleh karena itu, keahlian khusus dalam bidang pendidikan diperlukan saat memilih seorang menteri pendidikan. bukan hanya pengalaman formal, tetapi juga pengalaman yang menunjukkan pengetahuannya tentang perasaan guru di daerah terpencil dan kesulitan yang dihadapi di kelas dengan fasilitas yang kurang. Teori dalam buku atau angka di laporan tahunan tidak bisa  menggantikan pengalaman langsung. Menteri Pendidikan harus aktif mereka harus pergi ke sekolah dan berbicara dengan guru, orang tua, dan siswa secara langsung. Ini adalah satu-satunya cara dia dapat memahami dan menyelesaikan masalah.
 Mengapa Pengalaman dan Keterlibatan Aktif Begitu Penting?
Keterlibatan dalam forum akademik membantu Menteri Pendidikan memahami berbagai masalah yang dihadapi sektor pendidikan. Digitalisasi pendidikan adalah masalah besar yang terus menjadi perhatian hampir semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan mengalami transformasi besar selama era revolusi digital ini. Digitalisasi di sekolah dan universitas dipercepat karena pandemi COVID-19 meskipun kemajuan teknologi membuka banyak peluang, hal itu juga membawa tantangan, terutama terkait dengan kesenjangan digital.
Banyak sekolah didaerah terpencil yang masih belum memiliki akses internet yang memadai atau perangkat teknologi yang mendukung pembelajaran online. Selain itu, masalah tambahan adalah bahwa pendidikan di kota dan di pedesaan sangat jauh berbeda. Dia seharusnya menyadari bahwa ketidakpuasan di sekolah-sekolah pinggiran adalah kenyataan. Memperluas infrastruktur teknologi, memberikan pelatihan kepada guru, dan menyusun kurikulum yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi adalah semua upaya yang harus dilakukan oleh menteri pendidikan untuk mengatasi masalah digital.
Seorang menteri yang sering terlibat di diskusi semacam ini akan paham bahwa tantangan pendidikan di perkotaan beda jauh dengan di pedesaan. Bahkan akan tahu kalau masalah keterbatasan teknologi di sekolah-sekolah pinggiran itu nyata. Dia juga akan lebih mudah merasakan frustasi para guru yang kewalahan dengan kurikulum yang berubah-ubah atau sistem yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Kebijakan yang dibuat dengan berdasarkan pemahaman ini tidak akan terlihat seperti dipaksakan dari atas. Dia akan tampak lebih sadar akan kebutuhan nyata di lapangan.
Bicara soal kebijakan pendidikan yang enggak sinkron dengan realita, salah satu kasus yang jadi sorotan belakangan ini adalah soal  Nasib 11 Guru Besar 'Bermasalah' Saat Akreditasi ULM Turun Jadi C, Rektor Tegaskan Status Mereka  pada awalnya akreditasi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) mengalami penurunan yang semula A menjadi C. Penurunan akreditasi ini merupakan imbas dari kasus rekayasa guru besar yang melibatkan 11 dosen Fakultas Hukum ULM pada Juli lalu. Alhasil target ULM untuk menembus peringkat 20 besar kampus terbaik se-Indonesia bisa terwujud pada tahun akademik 2024/2025. Kendati demikian, Rektor ULM, Alim Bachri memastikan pemeriksaan terhadap 11 guru besar di hukum Kemendikbudristek ini tidak mengganggu target pihaknya. Berdasarkan penyelidikan tim kementerian, 11 guru besar hukum dari ULM diduga melakukan sejumlah pelanggaran integritas akademik serius. Dalam podcast Bocor Alus Politik Tempo yang tayang pada Sabtu 6/7/2024, Kemendikbudristek telah melakukan penyelidikan terhadap proses pengajuan jabatan guru besar oleh sejumlah dosen FH ULM dalam kasus ini Direktur Kelembagaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbud Ristek, Lukman, enggan merespon. Kasus dugaan pelanggaran akademik oleh sebelas dosen FH ULM bermula dari adanya laporan anonim. Direktur Sumber Daya Manusia Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Lukman, membenarkan informasi itu. "Ya kami menerima pengaduan".
Pengangkatan 11 guru besar di Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Mereka sudah diangkat sebagai guru besar oleh universitas secara administratif, tapi tiba-tiba status mereka dipersoalkan oleh Kemendikbudristek. Jadi, menurut kementerian ada beberapa persyaratan yang enggak terpenuhi sehingga status guru besar mereka dibatalkan. Ini enggak cuma bikin gempar kalangan akademisi, tapi juga mengangkat pertanyaan besar tentang transparansi dan konsistensi kebijakan di dunia pendidikan.
Bayangkan situasi dimana mereka yang telah bekerja keras, mengajar bertahun-tahun, melakukan penelitian, akhirnya diakui di tingkat universitas, tiba-tiba dihadapkan dengan masalah administratif yang bikin statusnya dipertanyakan. Sementara itu, menteri yang bertanggung jawab atas kebijakan Pendidikan mungkin enggak sepenuhnya paham soal dinamika di lapangan. Akibatnya, kebijakan yang diterapkan malah bikin bingung dan bahkan merugikan pihak-pihak yang seharusnya dihargai kontribusinya.
Sistem Zonasi dalam Penerimaan Siswa Baru, dunia pendidikan juga diwarnai dengan perdebatan soal sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah negeri. Sistem ini diterapkan untuk mengurangi kesenjangan antara sekolah favorit dan sekolah-sekolah biasa, dengan harapan semua siswa punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa harus berlomba-lomba masuk ke sekolah tertentu. Namun pada kenyataannya banyak masalah yang muncul alih-alih menyamaratakan kualitas pendidikan kebijakan ini justru menimbulkan kegelisahan di kalangan orang tua dan siswa. Misalnya, ada siswa berprestasi yang malah enggak bisa masuk ke sekolah yang dia inginkan hanya karena tempat tinggalnya di luar zona, padahal nilai akademisnya jauh lebih tinggi dibandingkan siswa lain yang diterima. Ini menimbulkan pertanyaan apakah sistem zonasi benar-benar adil? Atau malah sebaliknya menambah masalah baru?
Di sini dapat dilihat contoh kebijakan yang dibuat tanpa pertimbangan yang matang. Mungkin menurut sebagian orang kebijakan zonasi ini terlihat bagus. Tapi di lapangan banyak masalah teknis dan sosial yang muncul. Hal ini enggak akan terjadi kalau pemimpin yang bertanggung jawab benar-benar memahami persoalan pendidikan dari akar nya hingga ke pucuk. Sayangnya, ketika menteri enggak paham betul tentang kebutuhan siswa, guru, dan sekolah, kebijakan seperti sistem zonasi malah jadi beban buat banyak pihak.