Tulisan ini dibuat ketika Idhul Adha lalu. Di mana-mana, di masjid maupun tempat lapang di sekitarnya, orang-orang beramai-ramai menyaksikan penyembelihan hewan-hewan qurban. Penyembelihan kambing, sapi, maupun kerbau memang menjadi tontonan yang mempunyai daya tarik tersendiri. Di sana, bisa disaksikan bagaimana orang-orang bergotong-royong untuk menggiring si sapi atau si kerbau menuju tempat eksekusi. Sementara itu, lebih sedikit orang yang dibutuhkan untuk menangani kambing-kambing agar bisa disembelih. Antusiasme warga sangat tinggi. Bisa dilihat dari jumlah orang-orang yang menonton ritual penyembelihan tersebut. Tua, muda, laki-laki maupun perempuan. Acara mencapai klimaksnya ketika leher si hewan mulai dipotong diiringi dengan gerakan yang meronta-ronta. Baru sesudah itu, adegan para bapak-bapak menguliti hewan dan memotong-motong daging dilanjutkan dengan pembagian daging-daging yang sudah dipaket menjadi epilog dari serangkaian acara tersebut.
Hari raya Idhul Adha, jamaknya orang menafsirkan, selalu mengandung pesan moral bagi umat Islam bahwa kenikmatan duniawi bukanlah segalanya. Selalu ada saudara-saudara kita yang bagaimanapun, tidak lebih beruntung dari kita dan harus kita perhatikan. Oleh sebab itu, maka momentum Idhul Adha seringkali dijadikan ajang untuk pembauran antar-elemen masyarakat dengan strata yang berbeda yang selama ini ruang antar elemen ini dihinggapi oleh gap sosial yang terlampau lebar.
Karena disadari atau tidak disadari, mereka—elemen masyarakat bawah—barangkali tidak pernah yang namanya menikmati lezatnya hidangan daging kecuali mungkin pada hari Lebaran dan tentu ketika Hari Raya Qurban. Apalagi sekedar menikmati daging sapi sehari-hari. Fakta yang ironis mengingat daging sapi adalah komoditas pangan yang termasuk ke dalam Sembilan bahan pokok, atawa sembako. Akan tetapi, kebanyakan atau bahkan hampir keseluruhan dari mereka tidak terlalu mementingkan daging sapi sebagai kebutuhan sehari-hari karena pada kenyataannya jerih payah mereka untuk mendapatkan sesuap nasi saja sudah cukup sulit.
Daging sapi memang mahal, bahkan untuk kalangan masyarakat ekonomi menengah. Harganya pun terbilang sangat fluktuatif dan rentan sekali terombang-ambing akibat sentimen pasar. Sama seperti beras yang harganya gampang sekali naik-turun, daging sapi juga begitu. Hanya saja, keduanya bergerak pada level harga yang sama sekali berbeda, dan perbedaannya pun cukup jauh. Untuk berat kilogram yang sama, daging sapi bisa berharga sepuluh kali (atau lebih) lebih mahal dibanding beras. Kesenjangan harga yang sangat lebar mengingat beras dan daging sapi sama-sama merupakan komponen dari sembako. Padahal, rata-rata konsumsi daging orang Indonesia merupakan salah satu yang terendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, belum lagi kalau dikomparasikan dengan negara-negara di dunia.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan selalu berupaya untuk meningkatkan konsumsi daging demi pemenuhan kebutuhan gizi rakyat Indonesia. Tapi, dengan harga daging sapi seperti sekarang ini rasanya cukup sulit bagi Indonesia bahkan untuk sekedar menyamai rata-rata konsumsi daging di ASEAN.
Pemerintah tidak kehilangan akal. Sebagai upaya untuk menekan harga daging di pasaran sehingga terjangkau oleh kantong semua elemen masyarakat, program swasembada pun dicanangkan. Program swasembada daging sapi ini diluncurkan untuk melengkapi program-program swasembada yang pernah ada sebelumnya. Program-program tersebut adalah swasembada beras, jagung, gula, dan kedelai. Secara teori, dari kelima program swasembada tersebut (plus program swasembada daging sapi), yang paling mudah penerapannya adalah program swasembada daging sapi. Mengapa? Selain sapi, keempat komoditas pangan yang sedang diusahakan untuk diswasembadakan adalah komoditas yang berasal dari sektor pertanian. Sudah mutlak bahwa untuk memenuhinya, dibutuhkan lahan yang sangat luas bagi keempatnya. Padahal, petani juga manusia yang selalu mengikuti perilaku ekonomi. Ketika harga beras bagus, mereka akan menanam padi. Ketika harga beras jatuh dan harga gula naik, mereka akan beralih dari padi dan menanam tebu. Lahan yang ditanami sama, tetapi tanamannya yang berbeda. Inilah sebabnya mengapa keempat program swasembada tersebut sulit untuk dijalankan. Keempatnya (beras, gula, jagung, dan kedelai) harus bersaing untuk menempati lahan yang sama di mana pemenangnya pastinya adalah komoditas yang harganya paling stabil di pasaran.
Tapi tidak dengan daging sapi. Peternakan sapi tidak membutuhkan lahan yang luas. Asalkan ada area yang memadai untuk dijadikan kandang dan sumber rumput dan pakan yang banyak, maka cukup. Tidak pernah ditemukan adanya persaingan antara sapi dan kerbau, ataupun kambing untuk memperebutkan lahan yang sama. Apalagi, dengan adanya teknologi inseminasi buatan semakin bisa mendorong perkembangbiakan sapi sehingga menjadi lebih cepat, dan investasi yang telah dikeluarkan bisa kembali lebih awal.
Juga, angin segar datang dari pemerintah yang kabarnya memberikan insentif bagi rumah-rumah penggemukan sapi untuk terus menggenjot produksinya berkaitan dengan pelarangan ekspor daging sapi dari Australia ke Indonesia sejak September lalu. Insentif ini diharapkan bisa memacu kompetisi yang sehat antar rumah-rumah penggemukan sapi sehingga ke depannya, daging-daging sapi ilegal semacam daging gelonggongan bisa hilang dari pasar.
Kembali ke program swasembada daging sapi. Untuk menindaklanjuti wacana tersebut, pemerintah mengambil langkah yang bisa dibilang unik namun perlu diapresiasi karena menunjukkan besarnya niatan tersebut. September lalu, Menteri Pertanian Suswono beserta Badan Pusat Statistik (BPS) mengadakan sensus sapi secara nasional. Sensus ini bertujuan untuk mengukur produksi daging sapi dalam rangka mencapai target swasembada daging sapi pada tahun 2014. Adapun cetak biru (blue print) swasembada daging sapi 2014 dijabarkan dengan target populasi mencapai 14,23 juta ekor sapi pada 2014, dengan populasi sebanyak itu diestimasikan kapasitas produksinya sebesar 420.000 ton, dan dengan rencana impor hanya sebesar 32.000 ton.
Sebagai catatan, sampai Desember 2010 kemarin, Indonesia mengimpor sebanyak 120.000 ton daging sapi dan jeroan, serta 650.000 sapi bakalan. Untuk mencapai target pada cetak biru tersebut, pemerintah telah menganggarkan tak kurang dari 10,65 triliun rupiah.
Lalu faktanya adalah, percaya atau tidak, berdasarkan hasil sensus tersebut, populasi sapi di Indonesia per September 2011 mencapai 14,8 juta ekor. Padahal perkiraan populasi di tahun 2009 lalu adalah sekitar 12,6 juta ekor. Ini berarti pertumbuhan populasi sapi selama kurang dari dua tahun belakangan ini adalah sekitar 17,5%. Suatu pertumbuhan yang cukup pesat mengingat rata-rata pertumbuhan populasi penduduk Indonesia kurang dari dua persen per tahunnya.
Berita gembiranya, dan ini yang paling penting, telah nyata dari hasil sensus tersebut bahwa populasi sapi saat ini telah melampaui angka yang telah ditetapkan pada cetak biru swasembada daging sapi 2014. Ini tentu mengejutkan banyak pihak—dalam artian positif—terutama pemerintah karena target populasi yang ingin dicapai pada tahun 2014 telah tercapai di tahun 2011 ini. Dengan begitu, dana yang telah dianggarkan pemerintah sebesar 10,65 triliun rupiah menjadi “tidak berguna”.
Lebih lanjut lagi, semestinya pemerintah melakukan relokasi dana yang tadinya telah dianggarkan untuk mempertahankan atau menaikkan target produksi daging sapi. Contohnya dengan mengintensifkan program pemberian insentif untuk rumah-rumah penggemukan sapi seperti yang sudah dijelaskan tadi. Dalam bahasa penulis, bisa disebut dengan intensifikasi insentif.
Satu yang menjadi catatan penting, pada September 2011 lalu ternyata pemerintah masih mengalokasikan tambahan impor daging sapi sebanyak 28.000 ton. Malah, 7.000 ton diantaranya dijadwalkan untuk Januari 2012 besok. Ini adalah suatu preseden yang buruk karena dengan jelas menampilkan kooordinasi yang buruk antara Kementerian Pertanian—selaku yang punya hajat pada sensus sapi, dengan Kementerian Perdagangan—pihak yang berwenang dalam kebijakan impor daging sapi. Bobroknya koordinasi ini terlihat secara gamblang di mana program sensus sapi dan rencana impor daging sapi dilaksanakan pada bulan yang sama.
Tapi, yang jadi persoalan adalah mengapa tidak adanya pihak yang menengahi dua kebijakan yang saling kontradiktif ini, sehingga peristiwa ini seakan-akan menihilkan peran dan fungsi atau bahkan eksistensi dari pihak yang seharusnya berwenang menyelesaikan masalah ini, yang notabene yaitu Menko Perekonomian.
Kalau sudah begini, rasanya keinginan rakyat Indonesia untuk bisa menikmati daging sapi murah masih jauh dari kenyataan walau realisasinya terasa dekat sekali. Kita juga sepertinya masih akan mengakrabi persoalan-persoalan yang lumrah ketika Idhul Adha di mana masyarakat miskin akan mendapatkan kesempatan untuk menikmati lezatnya hidangan daging yang hanya bisa mereka nikmati sekali dalam setahun. Sapi, oh sapi….
Ditulis pada 06 Nopember 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H