Mohon tunggu...
Ade Indriawan
Ade Indriawan Mohon Tunggu... -

Simpel

Selanjutnya

Tutup

Money

Negeri Agraris yang Ironis

13 Juni 2012   11:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:02 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Bangsa Indonesia memang bangsa yang “kaya” dengan ironi. Betapa tidak, dengan lebih dari 235 juta penduduknya yang sebagian besar makanan pokoknya nasi, negeri ini terus saja mengimpor beras dari luar untuk memenuhi hajat hidup rakyatnya. Yang paling gres, adalah rencana pemerintah yang hendak mengimpor beras dari Thailand pada bulan Oktober ini. Ironi di atas ironi. Apa pasal? Bulan Oktober merupakan waktu yang bertepatan dengan masa panen padi pada musim tanam ketiga. Tak pelak lagi, para petani merasa seolah dianaktirikan oleh pemerintah. Padahal, sebagai ujung tombak dari ketahanan pangan nasional, peran petani amatlah vital. Andaikan saja semua petani di seluruh Indonesia mogok bertanam, tentu negeri ini akan terombang-ambing tak karuan. Ancaman krisis pangan yang dahsyat pada 2050 hendaknya dijadikan peringatan dini (early warning) bagi pemerintah untuk terus menggenjot produksi berasnya.

Well, petani memang menanggung beban, tapi pemerintah selalu punya alasan. Bergulirnya rencana impor beras ini sejatinya sudah terjadi sejak awal September lalu. Pada saat tersebut, di Jawa Timur memang tengah terjadi kenaikan harga beras sebesar Rp 200 - Rp 500 per kilogramnya. Dengan mengimpor beras dari Thailand diharapkan harga beras nasional bisa tertekan sehingga tidak memicu inflasi. Memang bukan rahasia lagi kalau harga beras impor lebih murah dibandingkan dengan beras lokal dengan kualitas yang sama bahkan tak jarang lebih baik. Kenaikan harga beras bukan penyebab satu-satunya. Dikatakan juga, stok beras yang ada pada Perum Bulog tidak bisa memenuhi target sehingga impor beras menjadi solusi tunggal.

Apa yang dikemukakan pemerintah seharusnya tidak serta-merta dijadikan pembenaran untuk mengimpor beras. Pertama, memang kenaikan beras benar terjadi, dan bahkan bukan hanya terjadi di Jawa Timur saja. Tetapi yang patut dilihat adalah sifat dari kenaikan harga tersebut, temporer atau permanen. Ini bisa dilihat dengan sudut pandang industri pangan dari dua sisi yang berlainan. Psikologi pasar adalah salah satunya. Awal September lalu merupakan puncak musim Lebaran di mana terjadi lonjakan harga dari barang-barang pokok, termasuk beras. Sebagaimana diketahui, beras adalah komoditas penting yang harganya ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu hukum permintaan dan persediaan. Prinsip ekonomi yang paling asasi ini menjelaskan perihal pengaruh besarnya jumlah permintaan pasar dan persediaan barang terhadap naik-turunnya harga dari barang tersebut. Dijelaskan secara singkat, ketika terjadi kenaikan permintaan terhadap beras sementara jumlah persediaannya tetap, maka harganya akan naik. Kira-kira seperti itulah yang terjadi pada Lebaran lalu. Permintaan terhadap beras yang tinggi dari masyarakat tidak diikuti dengan penambahan persediaan beras dari pemerintah.

Sisi yang satunya lagi adalah siklus hidup produk, dalam hal ini adalah beras. Siklus hidup produk sendiri merupakan kondisi-kondisi yang dialami suatu produk ketika pertama kali dikenalkan ke pasar sampai produk tersebut tidak lagi diminati konsumen karena faktor kejenuhan atau ada produk pengganti dengan teknologi mutakhir atau mutunya yang lebih bagus. Siklus hidup produk membentuk kurva yang menanjak hingga ke titik puncak kemudian turun perlahan tapi tidak sampai mencapai dasar.

Sebenarnya tidaklah sepadan mendeskripsikan siklus hidup beras di pasar dengan pengertian siklus hidup produk pada umumnya. Karena beras adalah komoditas yang merupakan kebutuhan pokok yang selalu diperlukan dari waktu ke waktu. Tapi, jika siklus hidup produk umumnya menggunakan pendekatan minat konsumen terhadap produk tersebut, pada beras lain lagi. Siklus hidup produk pada beras menggunakan pendekatan terhadap volume beras itu sendiri.

Intinya begini, ketika padi baru saja dipanen dari sawah, ini berarti juga peningkatan stok beras nasional. Di saat tersebut, persediaan beras mampu mengimbangi permintaan pasar sehingga harga beras relatif stabil atau bahkan menurun. Setelah itu, musim tanam padi berikutnya dimulai kembali sementara masyarakat selaku konsumen terus membeli beras. Seiring berjalannya waktu, konsumsi beras yang terus-menerus membuat persediaan beras menipis padahal musim panen berikutnya belum saatnya tiba. Imbasnya, persediaan yang berkurang tidak bisa mengimbangi permintaan pasar yang terus berlanjut. Akibatnya bisa ditebak, beras bisa semakin jarang dan harganya juga menanjak. Kondisi ini akan cenderung tetap sampai musim panen berikutnya tiba. Seterusnya, situasi tersebut terus berulang-ulang. Begitulah siklus hidup beras.

Jelas kenaikan harga beras pada September lalu merupakan perpaduan dari dua faktor di atas. Permintaan yang melonjak pada musim Lebaran serta stok yang menipis karena masa panen belum tiba. Andaikan saja pemerintah mau bersabar untuk tidak mengimpor sampai menunggu lewatnya bulan Oktober, atau ketika masa panen tiba, niscaya harga beras akan stabil dengan sendirinya. Inilah analisa yang menunjukkan bahwa kenaikan beras awal September lalu hanyalah besifat temporer atau sementara.

Alasan kedua pemerintah adalah stok beras di Perum Bulog yang tidak memenuhi target. Alasan ini bahkan lebih sulit dimengerti daripada alasan sebelumnya. Pasalnya, Perum Bulog selama ini dinilai tidak intensif dalam membeli beras dan gabah dari petani. Hal ini bukan berarti Perum Bulog bersalah. Yang harusnya bertanggungjawab atas masalah ini adalah pemerintah yang lamban dalam menetapkan kenaikan harga harga pembelian pemerintah terhadap beras dan gabah dari petani.

Akibatnya, Perum Bulog gagal mendapatkan gabah atau beras dari petani karena harga pembelian jauh di bawah harga pasar. Sebagai penyangga, mestinya Perum Bulog mampu membeli beras dan gabah petani lebih banyak. Namun, hal ini bukan berarti Bulog harus “dipaksa-paksa” untuk membeli gabah atau beras dari petani. Dengan harga pembelian yang jauh di bawah harga pasar, para petani enggan menjual gabahnya ke Bulog. Akan tetapi kalaupun harga pembelian ini dinaikkan, ini membuat harga beras di tangan terakhir atau konsumen naik secara signifikan sehingga harganya tidak bisa bersaing dengan beras impor. Kalau sudah begini, Perum Bulog yang pasti merugi.

Memang kalau berbicara masalah ini tidak lepas dari dilema yang dihadapi Perum Bulog sehingga peranannya menjadi tidak maksimal. Makanya, alih-alih menjual ke Bulog, para petani cenderung lebih suka menjual hasil panennya ke tangan pedagang.

Menurut Muksin, Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Jember, sebagaimana yang dilansir Kompas (9/9) lalu, di sepanjang masa panen tahun 2011 saja, sebanyak 90% produksi gabah petani dibeli langsung oleh pedagang untuk dijual lagi ke perusahaan penggilingan padi swasta, sedangkan pengadaan Bulog pada kurun waktu tersebut hanya sekitar 25.000 ton saja.

Dampaknya bisa dilihat sendiri, harga beras di pasaran cenderung lebih banyak ditentukan oleh pedagang, bukan pemerintah apalagi petani. Ketidakberdayaan pemerintah dalam mengendalikan harga beras menjadi ironi tersendiri. Celakanya, isu pemerintah mengimpor beras tersebut yang tidak jelas peruntukannya, apakah untuk memenuhi jatah beras rakyat miskin atau yang lain, membuat para pedagang menjadikan isu ini sebagai alasan untuk segera menurunkan harga pembelian gabahnya ke petani. Lagi-lagi petani yang harus menanggung bebannya.

Keadaan ini mencerminkan pemerintah seakan tidak berpikir panjang dalam merencanakan impor beras ini. Seharusnya, pemerintah melindungi petani dengan cara mempertahankan harga beras dan gabah selama masa panen raya agar tetap stabil supaya harganya tidak turun. Dengan begini, petani akan diuntungkan dan bisa membalik modal yang digunakan pada awal musim tanam. Kalaupun perlu impor beras, pemerintah sebaiknya melakukannya pada kurun Juli sampai Agustus lalu ketika persediaan pangan kurang karena para petani di beberapa daerah menderita gagal panen.

Impor beras, dalam hal ini, hanya berfungsi sebagai pilar cadangan yang menyangga persediaan beras dalam negeri agar ketahanan pangan nasional tidak goyah di saat persediaan beras lokal semakin jarang. Kalau logikanya terus terbalik seperti selama ini, wajar saja jika Indonesia memang negeri agraris yang ironis.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun