Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Politik

Renungan Politik: Mengapa Memilih Capres Jokowi

30 Juni 2014   21:51 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:06 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilpres 2014 memang berbeda dengan pilpres Indonesia sebelumnya. Indonesia punya dua pilihan dua Capres, dan itu akan dipilih oleh rakyat yang menggunakan hak suara mereka, kecuali menghadiri hari-h pilpres pada tanggal 9 Juli 2014 sebagai golput.

Masa kampanye yang semakin mendekati hari tenang, membuat para tim sukses, pendukung, relawan, dan simpatisan memaksimalkan usahanya untuk pemenangan Capres masing-masing. Sejauh ini, Capres yang akan saya pilih, mengatakan bahwa kita harus bergembira menghayati proses pemilu, sebuah bentuk kebebasan dalam suasana yang idealnya demokratis. Tak dipungkiri, salah satu Capres menegaskan bahwa ia menerima dampak merugikan, akibat dari adanya 23 bukti kampanye hitam berujut fitnah melalui sosial media, pemberitaan di tabloid Obor Rakyat, dan bentuk lainnya, yang saya yakin sebagian besar pembaca sudah melihatnya sendiri.

Apakah pendukung Capres yang difitnah itu lalu menjadi putus asa? Lelah? Atau membalas melakukan strategi kampanye yang sama dengan pihak Capres lain itu? Ternyata, saya mengamati banyak hal positif yang tersebar di seantero dunia, antara lain dengan menyatakan deklarasi dukungan kepada Pilpres yang kebetulan sama dengan pilihan saya. Mengapa mereka tetap bergiat secara positif dan lebih fokus pada pandangan dan visi Capres yang terkenal dengan “kesederhanaan dan sikap nggak mikir-nggak mikir-nya” itu?

Mungkin ini filosofi dari kegembiraan, ketulusan, dan antusiasme spontan yang tercermin dari karya-karya produk kreatif dan artikel kampanye para relawan Capres pilihan saya, yang TIDAK  mendorong adanya kampanye kotor. Bunyi gagasan itu demikian, Di dasar fitnah ada kekerasan. Hati nurani dibungkam. Akal sehat orang banyak disingkirkan. Fakta-fakta dijungkir-balikkan. Jika kemenangan nanti diperoleh karena efektifnya fitnah, masa depan politik Indonesia akan mengulanginya -- dan anak-anak kita akan hidup di tengah percakapan sosial yang beracun. (Goenawan Mohamad, Sastrawan, Penulis, Kolumnis)

Yang penting, mari kita bertindak, bersikap, dan berpikir positif, cerdas, terbuka, menambah wawasan. Ini pijakan kita membuat keputusan siapa Capres yang dipilih. Apa salahnya berpartisipasi aktif sesuai kapasitas kita, salah satunya sebagai warga medsos yang assertive, alih-alih reaktif atau agitatif, apalagi jangan sampai deh, manipulatif. Kini saatnya. Tidak ada lagi alasan untuk mengatakan "saya menunggu Pilpres 2019".

Yakin kita masih punya kesempatan lagi 5 tahun mendatang? Tentu saja kita yakin dengan hal yang bisa kita kontrol, yaitu pilihan dan keputusan yang kita buat saat ini.

Kita memilih hidup bergairah, penuh semangat, dan meyakini bahwa "orang-orang baik" akan diberi jalan untuk "mengatasi rintangan dan jebakan orang yang ingin menutupi kejahatannya". Kita tidak akan pernah memiliki Capres yang sempurna, akan tetapi Capres yang membuka diri untuk menerima masukan rakyat, dan mempertimbangkannya menjadi dasar kebijakan kepemimpinannya, dibantu oleh orang-orang yang tidak mengedepankan target kursi kekuasaan. Ini dilakukan mereka, demi mendukung visi dan misi menuju Indonesia yang Baru, dan Lebih Hebat. Realistis saja, Indonesia yang sudah diwarnai dengan menyolok oleh kesuraman kasus-kasus korupsi, pelanggaran HAM berat, dan hal lain yang secara pelan dan pasti bisa menenggelamkan kapal berdaulat Garuda Pancasila yang dihuni oleh warga yang Bhinneka Tunggal Ika.

Pilihan Capres ada dua, namun sebaiknya saya mengatakan pilihan saya saja. Yaitu, capres yang tidak punya kesalahan masa lalu (terbukti dari rekam jejaknya), yang didukung oleh orang-orang yang tulus (tidak menargetkan kursi sebagai tujuan utama mendukung), dan yang sangat terbukti membawa kegairahan dan antusiasme nyata para kawula tua dan muda, berkarya spontan tanpa mobilisasi terorganisir bertahun-tahun lamanya.

Mengalir saja seperti air, musim kampanye, kita mendukung. Usai kampanye, kita mengawal, dan kembali lebih fokus pada pekerjaan sehari-hari. Dan tetap kritis demi perbaikan dan kebaikan semua orang, bukan "hanya sekelompok orang". Kita tegakkan sanksi sosial bagi mereka yang rekam jejaknya “perlu diadili secara hukum” yang sayangnya tidak pernah terjadi karena sesuatu dan lain hal. Ya, kita memberikan sanksi sosial cara pribadi, dengan tidak memilih tokoh itu di pilpres 9 Juli.

Sebagai renungan, mari kita cermati pesan penting Pak Mochtar Pabottingi (Peneliti Senior LIPI), "Bahaya terbesar yang mengancam suatu bangsa, kapan pun adalah bersekutunya otoriterisme militer dengan fundamentalisme agama mayoritas." (SalamDuaJari)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun