Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Refleksi Diri: Memilih Bersikap Positif

15 Juni 2014   21:37 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:36 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignnone" width="624" caption="Ilustrasi Kantor | Kompasiana (Kompas.com,Shutterstock)"][/caption] Hujan baru saja berhenti, setelah tiga jam lamanya guntur dan angin mengiringi derasnya air yang tercurah dari langit. Siang sudah terang kembali, seterang pikiran saya yang senang berbincang dalam kehangatan kasih orang-orang tersayang. Saya merasa menjadi orang yang sangat beruntung. Seluruh keluarga besar dan ibunda tercinta sehat, bahagia, dan Puji Tuhan, sejahtera. Kami merasa sejahtera bukan karena memiliki banyak harta benda. Kami memiliki cinta. Kehidupan yang tetap sederhana, itu yang kami jaga. Sesederhana apakah yang saya maksudkan di sini?

Sederhana itu adalah menjalani hidup apa adanya. Kami tidak perlu mendongakkan kepala melihat orang-orang di luar sana, yang tampak jauh lebih hebat . Sebaliknya, sebisa mungkin kami belajar untuk memahami orang-orang yang tampak dari luarnya, seperti mengalami hidup yang kurang beruntung.

Lalu saya teringat pernah punya seorang atasan, yang sebenarnya baik hati namun kami para anak buahnya dibuat heran karena kebiasaannya mengeluh tiada habisnya. Setiap pagi saat atasan saya ini datang, ada saja hal yang dikeluhkannya sebagai kejadian yang mengecewakan, atau mengesalkan, mengganggu, atau bikin sial. Hari Senin, bos saya mengeluh kalau atap rumahnya bocor, dan tukang yang dipanggilnya tidak profesional. Keesokan harinya, bos nyerocos tentang harga makanan dan serba neka yang meroket. Ia bilang, "gaji saya habis buat beli susu anak dan buah saja, karena harga di supermarket di Jakarta tidak realistis." Bos saya, bekerja di Indonesia sebagai expat karena kantor kami adalah sebuah organisasi internasional. Gajinya sebagai seorang expat mungkin 20-30 kali besar gaji kami yang staff lokal. Dan itu memang sesuai dengan tanggung jawab dan jabatannya. Staff bos ini heran bagaimana ia mengeluhkan gaji di depan orang-orang yang pendapatannya tak "seberapa" dibanding dengannya. Saat bos nyerocos, kami hanya bisa nyengir kuda, atau senyum kecut. Suatu saat, kami mendapat kabar kalau bos sakit agak lama, kakinya keseleo karena tersandung mainan punya anak semata wayangnya yang masih TK. Sekretarisnya nyeletuk, "Bos kasihan ya, ia kena sial melulu karena terlalu banyak mengeluh. Coba kalau ia ingat dirinya itu sebenarnya lebih beruntung dari kita yang kurang pandai, kurang cantik, jauh dari kaya ... mungkin ia lebih bahagia dari kita yang biasa-biasa saja." Mengeluh dan tidak bersyukur itu bukan hanya diperlihatkan oleh bos saya saja. Pernah dulu ada teman yang kerjaannya kalau tidak mengeluh, ya mengupas tuntas keburukan orang. Kalau orang lain mengalami kemalangan, teman ini menggosip dan mengatakan bahwa kemalangan orang lain itu karena memang kebodohan dan salahnya sendiri blah blah blah. Sebaliknya, kalau orang lain sukses, atau keren, teman ini membahas hal-hal buruk yang ia pikirkan menjadi sisi gelap teman yang sukses tadi. Beberapa diantara kami diam dan mendengarkan, sebagian ikut-ikutan mencerca, sebagian lain pergi dan menyibukkan diri dengan kegiatan mereka masing-masing. Suatu saat kami mengadakan reuni kawan-kawan lama, yang juga mengenal teman saya yang suka bergosip ini. Saya memakai istilah 'gosip' karena banyak hal yang kami tahu yang ia ceritakan pada kami banyak ngawurnya. Dalam acara reuni itu, semua hadir kecuali si penggosip. Teman-teman bilang kalau yang bersangkutan pindah dari rumah Ibunya karena seluruh adik-adik dan kakaknya tidak mau berbicara lagi dengannya. Dari teman lain, dikabarkan kalau si penggosip ini pindah rumah karena ia merasa disindir oleh ibu-ibu kelompok arisan di kompleks rumahnya, dan ia sangat tersinggung sehingga terpaksa pindah hunian. Kami yang mendengar kabar tentang si penggosip ini merasakan hal yang nyaris sama: kasihan padanya! Kasihan karena tidak seorang pun dari kami yang bisa menyadarkannya untuk menghilangkan tabiatnya mengeluh, berbicara banyak hal negatif tentang orang lain, bahkan juga parahnya sekali berbicara, semua orang seperti harus mendengarkannya --- tidak peduli orang lain itu sedang ada perlu lain, atau kesibukan lain, atau baru saja datang di tempat itu dan perlu saling bersapa dengan sesama teman lainnya. Maka kami hanya saling mengiyakan saat salah satu bilang, "semoga ia bertemu dengan seseorang yang mampu membuatnya menyadari sikap negatifnya.Semoga ia bisa mengatasi kepahitan dalam hidupnya."

Dalam pergaulan, selalu saja ada  tipe kepribadian seperti teman dan boss saya itu. Kalau kita menjadi teman, kenalan, atau siapa saja yang harus berhadapan dengan karakter seperti itu, ada beberapa kemungkinan terjadi pada kita. Kita lambat laun akan serupa dengannya, menjadi orang yang bersikap negatif. Kemungkinan lainnya, kita menjadi orang yang agresif karena perlawanan dan kejenuhan sebagai reaksi pasif terhadap teman yang negatif itu. Ini bisa saja terjadi, karena kesabaran manusia ada batasnya. Hal terbaik yang bisa terjadi adalah bersikap asertif (assertive) dan memilih tetap menjadi orang yang tidak terpengaruh dan dipengaruhi oleh teman atau lingkungan "beraura" negatif.

Orang dengan kecenderungan sikap negatif, berpotensi menjadi manipulatif. Sayangnya, sifat ini tidak selalu tampak pada awal perkenalan kita dengan mereka. Dengan berjalannya waktu, kalau kita menyadarinya, ada hal-hal yang menjadi perwujudan dari sikap manipulatif ini, salah satunya adalah kesukaannya mengambil peran sebagai seorang pahlawan, sering membuat orang lain seakan berbuat kesalahan atas problem dia sendiri, dengan kata lain --- membuat orang lain merasa bersalah atas apa yang tidak diperbuatnya. Sebenarnya masih banyak lagi hal yang bisa dikenali dari Si manipulatif ini. Sikap manipulatif sendiri bisa menjadi strategi si pelaku, tetapi ada beberapa kasus ketika pelaku manipulasi sebenarnya tidak menyadari sendiri telah bertindak seperti itu. Saya mengenali hal ini dalam keseharian saya, di tempat kerja, di tengah komunitas, lingkungan rumah atau dari cerita anak-anak dan keponakan yang pernah dirugikan oleh teman sekolah mereka, yang kemudian saya duga punya perilaku manipulatif.

Dengan mengenali perilaku negatif maupun manipulatif, kita bisa mengatakan pada diri sendiri bahwa kita perlu mengambil sikap untuk tidak kena pengaruh orang berperilaku negatif. Caranya?

Begitu kita menyadari ada aura negatif yang bisa kita rasakan dan alami dari keberadaan seseorang (berdasarkan proses berinteraksi kita dengannya), maka batasilah kesempatan atau waktu berinteraksi dengannya. Betapa pun mungkin kita masih berharap dan berpikir bahwa kita bisa membantu orang tersebut memecahkan masalahnya, faktanya itu justru akan memerangkap diri kita sendiri menjadi target kambing hitam atas ketidak beresan orang tersebut. Tanggung jawab kesalahan selalu ditimpakan kepada pihak lain, alih-alih melakukan introspeksi diri. Dengan kata lain, jangan coba-coba mengikuti permainan orang yang manipulatif dengan harapan akan bisa membereskan apa yang salah dari hubungan kita dengannya. Orang berkepribadian negatif punya keinginan kronis untuk menarik diri kita terseret dan seakan terlibat dalam krisis hidup yang dialaminya. Tulisan ini saya maksudkan lebih untuk berbagi pengalaman sambil mengingatkan diri sendiri, bahwa dalam hidup ini kita dimampukan untuk membuat pilihan yang kita miliki. Saya memilih untuk menjadi orang yang beruntung, selalu bisa bersyukur atas hidup yang diberikan pada saya oleh Sang Maha Pencipta, dan bersyukur atas kehidupan yang saya jalani. Saya memilih bersikap positif dalam cakupan dan arti yang lebih luas dari sekadar satu kata yang terdiri dari tujuh huruf ini. Mudah-mudahan kita selalu ingat pada hal yang lebih bermanfaat, antara lain dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang baik dan berguna bagi orang lain; melatih pengembangan diri berdasarkan potensi yang ada; melatih "kesadaran diri" untuk menerima dan mencintai diri seperti adanya; membuka diri untuk perspektif baru; hadir di lingkungan orang-orang yang positif; dan menikmati kegiatan-kegiatan yang membawa pada semangat, motivasi dan inspirasi diri. | @IndriaSalim Tulisan ini juga saya persembahkan kepada Almarhum Ayah tercinta, yang wafat dalam usia 44 tahun. Kebersamaan kami bersama Ayah tidak terlalu lama, namun beliau memberi contoh sikap hidup yang sak madya --- tidak berlebihan, realistis, tidak mengedepankan emosi semata, dan sederhana. HAPPY FATHER'S DAY! SELAMAT HARI AYAH!

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun