Eksekusi mungkin bukan bentuk hukuman yang tepat, bahkan banyak pihak yang menganggap ini sebuah tindakan pembunuhan berencana. OK, baiklah. Namun, untuk Indonesia saat ini, darurat narkoba juga bukan sekadar jargon politik, bukan pula sebuah media untuk tampil patriotik bagi pemerintah dalam keputusan apa pun yang diambilnya.
Proses pengadilan sudah dilakukan dalam beberapa tahapan dan di tataran bertingkat. Yang anti pada kebijakan Presiden Republik Indonesia saat ini, mendengungkan "solusi" hukuman penjara sumur hidup, dan ‘penanganan komprehensif’ untuk pencegahan masuknya narkoba ke Indonesia di masa mendatang. Fine!
Itu hal terpisah. Secara bertahap, saya percaya pemerintah sudah mulai melakukan usaha ini, antara lain dengan mengadakan program rehabilitasi bagi PECANDU narkoba, yang dianggap sebagai KORBAN perdagangan narkoba oleh PENGEDAR, dan SINDIKAT Narkoba.
Bagi mereka yang punya keluarga berpotensi aktif berkomunitas, dan mungkin berbaur dalam gaya hidup terkini, yakinkah bahwa semua itu akan steril dari ancaman dan godaan (kadang terselubung) pengedar narkoba? Apakah mereka akan menyuarakan protes yang sama tentang keputusan pemerintah RI pada saat ini, bila salah satu saja anggota keluarga mereka ada di antara pecandu yang harus ke luar masuk tempat rehabilitasi?
Kami paham, mereka yang tidak mendukung keputusan pemerintah dalam hal eksekusi ini, punya selusin alasan sahih dan canggih berwawasan masa depan. Namun saya percaya, pemerintah telah memikirkan faktor dampak "masa depan" ini justru dimulai dari tindakan tegas SAAT ini. Untuk selanjutnya, tentu ada kebijakan lain yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pelaksanaan berjangka panjang, yang banyak penentang sebut sebagai "penanganan komprehensif" itu.
Katakanlah, persoalan narkoba dan dampak fatalnya itu ‘terinvestasikan’ sejak sepuluh, dua puluh tahun, atau lebih dari tiga puluh tahunan yang lalu, maka pemerintah saat ini mau tidak mau harus bertindak tegas dalam penanganan masalah narkoba yang sudah menjadi urjen. Tentu, ada banyak masalah urjen lainnya di tanah air tercinta ini, termasuk soal korupsi, pembabatan mafia segala usaha, prostitusi, pornografi, dan itu BUKAN masalah yang timbul dalam sekian bulan belakangan ini saja. Artinya, semua dampak kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan oleh masalah tersebut sudah ‘terlanjur’ berurat berakar!
Ada yang mengkhawatirkan bahwa penerapan eksekusi, khususnya dan dalam konteks terkini tertuju bagi gembong mafia dan pengedar narkoba dianggap tidak bakal menyelesaikan masalah, dan karenanya pidana seumur hidup-lah yang direkomendasikan, bukankan selama ini pemerintah sudah banyak ‘menampung’ narapidana kategori tersebut juga. Lalu apa fakta yang kita lihat? Bisnis narkoba yang dikendalikan dari dalam penjara masih jalan terus, jejaring semakin kuat dan agresif, dan virus jahat narkoba bahkan mengontaminasi dan memengaruhi aparat penjara dan aparat lain yang bermental lemah atau buruk.
Namun untuk yang terakhir disebut ini, tentunya kita sebagai warga negara yang menginginkan Indonesia sehat, akan tetap menuntut pemerintah untuk membereskan kebobrokan internal aparatnya juga. Ini hal lain dan sungguh memerlukan tahapan demi tahapan kebijakannya. Dan ini juga seharusnya akan menjadi bagian integral dari apa yang oleh pakar kebijakan ‘anti eksekusi’ (khusus untuk kebijakan kali ini), disebut sebagai ‘penanganan yang komprehensif’ itu. Referensi: pernyataan Direktur Program Imparsial dalam acara Kompasiana TV, 27 April – Pro Kontra Hukuman Mati . Dalam hal ini saya sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Kompasianer Muthiah Al Hasany (18’22”), bahwa “apakah pihak yang kontra punya solusi yang tepat, … dan kerancuan penundaan hukuman akan menimbulkan gejolak lagi, … dsb. “
Pandangan Direktur Program Imparsial memang ideal, namun apakah dia memiliki opsi terbaik yang sifatnya tidak hanya bisa dilihat setelah sekian tahun ke depan, selagi korban narkoba bertambah banyak dan viral sifatnya.
Bagaimanapun, pemberlakuan pidana mati itu hal yang sangat serius, namun sebaiknya pertimbangan berikut ini perlu dipahami juga, yaitu yang dikatakan oleh Ketua Dewan Penasihat Granat, “Selama masih ada dalam hukum positif, maka itu harus ditegakkan. Dalam hal aspek HAM, kalau kita bicara HAM, kita tidak bicara hanya untuk satu-dua atau tiga orang, kita harus bicara HAM korban narkotika yang begitu banyak. Badan Narkotika Nasional mencatat paling tidak 12.000 korban narkotika mati sia-sia.”
Pemerintah kali ini harus berani bertindak. Toh apa pun kebijakan yang dijalankannya tidak akan pernah luput dari cela dan rintangan, entah itu karena kebijakannya sungguh-sungguh buruk, atau entah karena alasan lain. Andaikata kini Presiden RI memberi grasi pada para terpidana itu, pasti ada pergolakan juga --- karena kemungkinan ia akan dianggap berkompromi dengan ‘penjahat, terpidana, atau siapa pun kekuatan atau pengaruh di balik semua itu’.
Kalau menengok ke belakang sedikit, keramahan bangsa ini sudah dinyatakan dengan pemberian grasi terpidana Corby (Schapelle Corby) oleh presiden RI sebelumnya. Presiden RI kala itu – pada tahun 2005, menegaskan sikapnya tentang grasi bagi pelaku kejahatan narkotika.
Pada peringatan Hari Internasional Melawan Penyalahgunaan dan Peredaran Narkoba di Istana Negara, Presiden mengatakan grasi untuk jenis kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tidak akan pernah dikabulkan, sejak saat Indonesia berdiri sampai saat ini dan saat-saat mendatang, termasuk bagi Corby . Faktanya, pada tanggal 15 Mei 2012, presiden kala itu menandatangani Keppres tentang pemberian grasi berupa pengurangan masa hukuman sebanyak lima tahun terhadap Corby.
Apakah lantas para pengedar dan dealer narkoba berterima kasih dengan mengurangi keagresifan bidikan bisnisnya di Indonesia? Silakan pembaca menilai sendiri.
Sebagai bagian dari ‘penanganan komprehensif’ yang untuk situasi saat ini masih kedengaran normatif, tentu hal ini memerlukan perumusan kebijakan strategis dan menyeluruh, berkesinambungan dan bertahap, kita perlu ingat bahwa 12.000 nyawa telah binasa karena narkoba, dan itu adalah bagian dari generasi penerus bangsa.
Dalam hal ini, pemberitaan manakah yang sudah melakukan liputan out of the box mengungkap jungkir baliknya pecandu yang dalam proses rehabilitasi, serta keluarganya yang tentu patah arang, harap-harap cemas mendampingi anak, remaja, kakak, adik bahkan suami atau isteri yang 'diupayakan kembali' bisa hidup sehat, bebas dari kecanduan mereka? | @IndriaSalim
Salam Kompasiana
Referensi:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fd3fb4011a22/inilah-alasan-ma-soal-grasi-corby
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H