Manusia melihat penampilan dan yang tampak di permukaan. Tuhan melihat (menyelidiki) hati. Lha bagaimana saya bisa tahu kalau hati seseorang tulus dan "baik" di mata Tuhan? Secara manusiawi kita hanya bisa menyimak rekam jejak dan tindakan serta perilaku keseharian seseorang, dalam kurun waktu yang bukan hanya satu-dua bulan, bahkan mungkin beberapa tahun.
Ahok, tipe orang yang spontan, namun tidak mau dibohongi orang culas. Saya sendiri tidak suka beranda saya ada komentar sumpah serapah. Tapi Ahok kan tidak menyumpah serapah. Dia marah atas banyak kemunafikan, dan dalam konteks pemerintahan -- dia menghadapi langsung orang seperti itu, kepada siapa dia harus membuat kesepakatan yang win-win, interaksi dan prinsip menang-menang itu secara langsung melibatkan atau berdampak pada rakyat -- pemangku kepentingan utama yang membuat dia harus melaksanakan tugas sebagai gubernur.
Ahok juga ada di video menampilkan kritikannya tentang kekristenan, bukan berarti dia menghujat kitab suci agama kristen, namun lebih pada kehidupan umatnya. Umat adalah manusia, yang belum tentu melakukan ajaran seperti tertulis dalam kitab suci, dan saya termasuk di dalamnya, saya orang yang berdosa, jauh dari kriteria santo, santa, atau orang saleh. Sesungguhnya, kita -- seyogyanya perlu belajar terus memperbaiki diri, dan belajar memahami sabda atau perintah  Tuhan sesuai keyakinan masing-masing. Sebagian ajaran itu kurang lebihnya adalah, "Jangan membunuh. Jangan mencuri. Jangan menginginkan isteri atau suami orang."
Namun hukum utama dan yang terutama adalah,"Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
Ini sulit! Tentu sulit. Namun saya merasakan kedamaian hidup tanpa menyimpan dendam, dari hal terkecil sampai hal serius.
Saya pernah dibentak sangat kasar, dan dipermalukan oleh seseorang yang lebih berkuasa dari saya. Saya tidak melakukan kesalahan. Saya tidak takut, saya mengutarakan gagasan saya, dan hal itu membuat orang tsb. semakin berang. Selang berlalunya waktu, dia mendatangi saya -- menyentuh bahu saya, "Saya minta maaf.!"
Apakah saya dendam? Tidak.
Tetangga saya pernah membuat saya dirugikan, diremehkan, dan terganggu berat. Sudah begitu dia malah bentak-bentak pula, juga membentak tetangga lain. Apa yang terjadi? Tetangga lain yang kena bentak sudah tidak mau bicara sama si pembentak. Saya? Ketika ada kesempatan berpapasan wajah, saya mencoba menyapa baik-baik beberapa kali, tanpa dendam, ringan saja. perkara dia gengsi dengan tidak mengenali niat saya berbaikan -- itu urusan yang bersangkutan.
Ahok, bagaimanapun dan apapun yang diperbuatnya sudah "by default" dibenci dan ditolak oleh sebagian orang dan kelompok tertentu. TITIK.
Maka hari ini saya paham kalau membaca banyak komentar netizen yang bernada skeptis soal penegakan keadilan oleh Aparat. Mereka bilang, "Paling Ahok bebas karena pengakuan tidak berniat menghina ayat suci umat I."
Menurut saya ada yang bias. Bias, karena walau hanya segelintir -- ada beberapa tokoh termasuk Imam Besar Masjid Istiqlal yang menyatakan kalau Ahok tidak menghina ayat (kitab suci ummat I).
Walau begitu, dalam masyarakat yang masih banyak menganut model "ikut-ikutan apa kata tokoh agama", saya berharap pendukung dan tim sukses Ahok agar lebih berhati-hati dalam berbicara atau menyatakan pendapat terkait agama, jargon agamis, atau SARA. Tentu untuk pembelajaran politik yang sehat, hal ini berlaku bagi pasangan cagub atau cabup mana pun.
Baiklah, saya mencoba mengungkapkannya dalam bahasa yang lebih mudah saya ekspresikan di sini-- Blinded eyes will never see any light, even if the light is real, and right before their eyes.
Dalam kehidupan ini, ada semacam nilai tidak tertulis yang berlaku universal, yaitu kemanusiaan, kebaikan untuk warga negara dunia, cinta kasih. Dalam kehidupan bernegara, setiap individu berkewajiban mematuhi peraturan dan hukum negara, yang di Indonesia diatur berlandaskan pada nilai falsafah Pancasila, dan UUD 1945, serta pengakuan pada Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi ciri Indonesia.
Dalam kehidupan spiritual dan praktik keseharian, saya percaya bahwa semua agama menunjukkan aturan keimanan yang mengacu pada kebaikan dan kebajikan, dalam hubungan vertikal dengan Sang Maha Pencipta, maupun hubungan horisontal dengan sesama makhluk ciptaan-Nya.
Dalam konteks Jokowi, yang kebetulan "diasosiasikan" dengan Ahok, saya percaya bahwa nuansa dendam, atau obsesi menebus kekalahan berlangsung sejak 2014, dan insiden Pulau Seribu hanya salah satu pemicu yang sudah dinanti-nantikan sebagian orang yang ingin mengenyahkan kedua nama di atas dari kisah perpolitikan di republik ini. Koruptor belum menyadari tindakan mereka korupsi. Mafia tidak ingin wilayah kekuasaan dan kenyamanan terusik. Selusin motif kebencian dan impian menamatkan karier politik Jokowi atau Ahok bisa mewujudkan bentuknya dalam banyak cara, peristiwa, atau usaha. Â
Sebagian contoh yang sudah terekam dalam video yang tersebar di media sosial dan liputan media massa adalah fakta seorang Cawabup Bekasi yang dalam kesempatan "demo damai bela agama" malah berorasi membuahkan teriakan sebagian massa yang mem"faunakan" nama Presiden RI. Tampak juga beberapa ibu sedang meneriakkan kata "bunuh atau jebloskan ke penjara" yang ditujukan pada Gubernur DKI non-aktif Ahok. Belum lagi "kehadiran" dua Wakil Ketua DPR yang salah satunya memberikan briefing kunci, "Dua Cara Jatuhkan Presiden".