Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Blusukan Ala Diplomat Amerika, Stanley Harsha: Interviu Eksklusif oleh Kompasianer

12 Mei 2015   02:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:09 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_416769" align="aligncenter" width="449" caption="Stanley Harsha menanda tangani bukunya sebelum interviu |Foto: Indria Salim"][/caption]

Stanley Harsha, adalah mantan diplomat Amerika Serikat (AS) yang dalam empat periode penugasan resmi selama 12 tahun di Indonesia, banyak melakukan ‘blusukan’. Itu terjadi semasa 28 tahun menghayati kecintaannya tentang Indonesia, dalam kehidupan pribadi dan profesional di kedua ‘rumahnya’ ---  Indonesia dan Amerika.

Pada tanggal 4 Mei, Pak Stanley (begitu para sahabatnya di Indonesia memanggilnya) meluncurkan buku Seperti Bulan dan Matahari, Indonesia dalam Catatan Seorang Diplomat Amerika (Like the Moon and the Sun – Indonesia in the Words of an American Diplomat).

Di dalam bukunya, Stanley mengungkapkan perjalanan hidupnya selama 30 tahun terakhir, dalam perannya sebagai seorang suami yang sangat mencintai sang isteri --- seorang putri bangsawan Solo, menantu Pak Padmosawego Mangoendipoero – yang dengannya, Stanley belajar memahami, menghormati dan menerapkan banyak ajaran Islam dan falsafah Jawa adiluhung. Buku Stanley juga menyajikan pemikiran, pengalaman, harapannya tentang hubungan Indonesia-Amerika, Islam toleran Indonesia yang menjadi contoh buat dunia, juga analisis tentang Islam dan politik di kedua negara tersebut, dan proses penerbitan buku, yang peluncurannya diadakan  di Bentara Budaya Jakarta.

[caption id="" align="aligncenter" width="475" caption="Peluncuran Buku Karya Diplomat Amerika: Seperti Bulan dan Matahari |Foto: Indria Salim"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="491" caption="Dari kiri: Endy Bayuni (mantan Pemred the Jakarta Post); Izharry Agusjaya, penulis; Stanley Harsha; Henny Harsha; Irman Gusman; Azyumardi Azra, ; dan Patricius Cahanar, Penerbit Kompas-Gramedia |Photo courtesy: Stanley Harsha"][/caption]

Terkesan sesudah membaca berita di AntaraNews tentang peluncuran buku terbitan Penerbit Buku Kompas,  Seperti Bulan dan Matahari, Indonesia dalam Catatan Seorang Diplomat Amerika, laluKompasianerIndria Salim mengucapkan selamat kepada sang penulis buku. Tak disangka, Kompasianer ini beruntung mendapatkan buku dengan tanda tangan langsung dari Pak Stanley, sesaat sebelum kesempatan interviu eksklusif dengannya.

Berikut ini  petikan sebagian interviu eksklusif Stanley Harsha, Kamis (07/05/2015). Sebagai catatan, Stanley yang fasih  berbahasa Indonesia, Spanyol, dan Mandarin ini dulunya adalah jurnalis yang bertugas di Amerika Serikat dan Venezuela.

Kompasianer: Bisa diceritakan keseluruhan isi buku Anda, Pak Stan?

Stanley Harsha: Ada dua sisi. Pertama, saya menulis tentang adat. Di situ ada banyak orang Indonesia yang tidak tahu juga, karena pengetahuan ini berasal dari keluarga (isteri) saya – yang keturunan keluarga Jawa, Ki Padmosusastro (1841-1926, pelopor kesusasteraan dan filsafat Jawa modern). Ki Padmosusastro punya pengetahuan dan pemahaman filsafat Jawa Kuno yang sangat dalam, yang mungkin asalnya dari Majapahit. Mungkin juga orang asing yang bukan ahli Indonesia, mereka bisa dapat pelajaran soal ini,  bagaimana memahami adat Indonesia.

Kedua, dari situ saya melompat ke hal yang lebih berat. Peristiwa 11 September, toleransi agama, terorisme, dan HAM. Dari sisi ini, orang Indonesia bisa belajar tentang diplomasi AS dari pandangan ‘orang dalam’ (baca: diplomat Amerika Serikat). Semua ini belum pernah ditulis, karena selain saya belum ada yang menulis tentang ini.

Kompasianer: Bagaimana dengan (tulisan) pengamat politik Amerika seperti […] ?

Stanley Harsha: Tentu ada penulis lain. Ada banyak, yang jauh lebih ahli dari saya --- ahli sejarah, politik, antropologi, musik. Saya bukan cendekiawan, tapi saya punya pengetahuan dari ‘dalam’, sebagai diplomat.  Saya diplomat, jadi saya membahas hal-hal yang menarik dan berat, langsung dari tokoh-tokoh politik dan pemimpin masyarakat di sini. Dan saya banyak blusukan juga. Saya sering bicara sama masyarakat, atau orang biasa.

Jadi itulah, baik orang Amerika maupun orang Indonesia, mereka mungkin bisa dapat sesuatu dari yang saya tulis.

Untuk orang Indonesia saya ingin berbagi gambaran tentang agama dan Islam di Amerika dan Indonesia. Saya menulis banyak tentang toleransi agama di Amerika, dari soal Islam dan toleransi sebenarnya di Amerika, sampai sejarah di Amerika.

Untuk orang Amerika, saya menulis tentang agama dan Islam di Indonesia. Intinya saya sangat tajam mengecam orang yang membenci agama lain, saya mengecam keras orang Kristen di Amerika yang tidak toleran, dan orang Islam di Indonesia yang tidak toleran.

Pokok kesimpulannya adalah, bahwa mayoritas orang Amerika dan Indonesia itu toleran, tapi kita harus lebih berusaha agar orang yang tidak toleran, tidak menciptakan suatu suasana yang sangat membahayakan. Adalah sangat berbahaya bila karena sesuatu yang kita tidak saling mengerti, berakibat pada munculnya kebencian, lalu dari kebencian bisa timbul penekanan, atau intimidasi pada pihak lain.

Ini bisa memicu konflik dan perang. Buktinya Amerika Serikat begitu cepat memerangi Irak dan Afganistan. Kalau AS dulu lebih bijaksana, punya pengetahuan yang lebih mendalam tentang dunia, tentang Islam, dan sebagainya, mungkin mereka tidak akan sampai begitu memerangi Irak. Jadi dalam hal ini, orang yang sangat pintar bisa (bersikap) bodoh kalau tidak melakukan usaha memahami budaya orang lain. Jadi budaya sangat penting. Pemahaman dan sikap saling pengertian antar budaya berbeda sungguh penting.

Itu yang khas Indonesia, toleran. Yang tidak toleran hanya sebagian kecil ( baca: minoritas). Saya menuliskan dalam buku ini, bahwa umat Kristen merasa tertekan, takut terhadap ancaman (kelompok) ekstrim. tentang itu nggak banyak. Mereka juga diintimidasi, […] ada gereja yang dibakar, meskipun berita tentang itu nggak banyak.

Dalam buku ini saya menyimpulkan, bahwa sekarang perasaan minoritas Islam Amerika di Amerika Serikat yang juga terasa sedikit terdiskriminasi, agak sama dengan perasaan minoritas di Indonesia. Jadi memang ada diskriminasi terhadap kaum minoritas di sini. Meskipun begitu, pada dasarnya Indonesia adalah negara toleran. Di pihak lain, saya sangat tidak suka kalau di Amerika Serikat, ada kecenderungan untuk membenci orang Islam (Islamophia). Namun, sebenarnya mereka yang membenci itu siapa? Begini ya, mayoritas orang Amerika yang lebih muda, lebih terpelajar, partai demokrat --- mereka lebih toleran terhadap Islam. Saya sendiri umat Islam.

[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Penulis Izharry Agusjaya Moenzir, Stanley Harsha, editor senior Jakarta Post Endy Bayuni, mantan Rektor UIN Jakarta, Azyumardi Azra, dalam peluncuran buku "]

Penulis Izharry Agusjaya Moenzir, Stanley Harsha, editor senior Jakarta Post Endy Bayuni, mantan Rektor UIN Jakarta, Azyumardi Azra, dalam peluncuran buku Seperti Bulan dan Matahari, Indonesia dalam Catatan Seorang Diplomat Amerika, di Jakarta, Senin. (www.antaranews.comAlviansyah Pasaribu)
Penulis Izharry Agusjaya Moenzir, Stanley Harsha, editor senior Jakarta Post Endy Bayuni, mantan Rektor UIN Jakarta, Azyumardi Azra, dalam peluncuran buku Seperti Bulan dan Matahari, Indonesia dalam Catatan Seorang Diplomat Amerika, di Jakarta, Senin. (www.antaranews.comAlviansyah Pasaribu)
[/caption]

Kompasianer: Bagaimana proses penerbitan dan penerjemahan bukunya?

Stanley Harsha: Buku harus dikirim dulu ke Washington DC, untuk memastikan bahwa tidak ada rahasia negara yang bocor. Tulisan ini memang berisi hal yang bukan rahasia negara. Begitu buku saya kirim ke Washington DC, pada saat bersamaan, isteri saya (Henny Mangoendipoero Harsha) mengerjakan terjemahannya.

Dalam proses menulis, saya selalu mempertimbangkan bahwa ini akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk para pembaca Indonesia. Saya menulis dalam bahasa Inggris juga – yang penting cocok untuk pembaca Indonesia. Kalau saya mengutip nara sumber Indonesia, saya mengutip langsung dalam versi aslinya, bahasa Indonesia. Begitu pun bila sumbernya dari buku atau surat kabar berbahasa Indonesia.

Untuk Washington D.C., Saya harus menerjemahkan semua yang berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Istri saya menerjemahkan bagian yang saya tulis ke dalam bahasa Inggris. Ini dilakukannya bab per bab, lalu saya reviu.

Saya membaca kedua versinya. Kalau ada terjemahan yang kurang tepat, maka kami diskusikan berdua, baru direvisi. Itu prosesnya. Waktu penerjemahan kurang dari satu bulan, dan itu hasil kerja keras isteri karena deadline (tenggat)sudah ditentukan oleh penerbit dengan ketat. Setiap minggu mereka menentukan target penyelesaian. Editor bahasa Indonesia adalah  Mulyawan Karim dari Penerbit Buku Kompas. Sedangkan editor versi bahasa Inggris-nya abang saya, meski dia tidak mau namanya dicantumkan. Anak-anak saya, Annisa Harsha dan Sean Harsha juga menjadi editor untuk buku versi bahasa Inggris.

Kompasianer: Anak-anak sudah bekerja?

Stanley Harsha: Annisa sudah bekerja, setelah lulus S-2. Seanmasih kuliah di kampus dekat rumah di Colorado.

Kompasianer: Apa pendapat Annisa dan Sean tentang buku Pak Stan?

Stanley Harsha: Mereka suka, dan berpendapat bahwa buku ini menarik.

*Interviu terhenti sebentar, Pak Stan menelpon untuk mencari tahu tentang waktu dan jam melayat Pepeng Soebardi yang hari itu meninggal dunia. Dalam bukunya, ada tulisan yang memuat tentang Pepeng Soebardi.*

Demikian, maka bagian akhir interviu akan dilanjutkan pada kesempatan lain.

Bukan hanya karena kebetulan Stanley Harsha kenal sama Presiden Jokowi sejak tahun 2007, maka dia menulis tentang Presiden RI. Stanley membandingkan ‘Tukang Mebel’ dari Solo dengan ‘Anak Menteng’ Obama.  Mari kita simak kutipan dari buku Seperti Bulan dan Matahari, Indonesia dalam Catatan Seorang Diplomat Amerika.

Hal. 32:Diskriminasi di Amerika semakin berkurang. Kenyataan bahwa Obama terpilih sebagai Presiden bukan hanya merupakan tonggak sejarah Amerika dalam mengatasi rasisme, tetapi juga mengungkap adanya kesenjangan kebudayaan. Banyak lawan tidak menyukai Obama karena ia seorang liberalis. Sebagian tidak menyukainya hanya karena ia berkulit hitam. Mereka banyak menggunakan kebohongan berdasarkan prasangka dengan mengatakan bahwa ia seorang Muslim yang lahir di Afrika, yang dengan diam-diam berkonspirasi ingin mengubah Amerika Serikat menjadi sebuah negara yang didominasi oleh pengaruh asing Muslim.”

Hal. 33:“Sayangnya, Obama menghadapi banyak perlawanan dari anggota DPR AS yang bertekad  menolak setiap programnya hanya untuk menjadikan Obama sebagai presiden gagal. Walau demikian, saya percaya bahwa sejarah akan menilai Obama sebagai seorang pemimpin yang bertekad untuk mengubah masyarakat di Amerika Serikat agar menjadi lebih adil, tidak berpihak, dan bersikap toleran.

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Bersama anak-anak madrasah Ibtidaiyah di masjid Alfalah Jalan Murni, Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal, usai berbuka puasa dan sholat maghrib. |Foto: Berita Sore/Hj Laswiyati Wakid"]

Bersama anak-anak madrasah Ibtidaiyah di masjid Alfalah Jalan Murni, Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal, usai berbuka puasa dan sholat maghrib. |Foto: Berita Sore/Hj Laswiyati Wakid
Bersama anak-anak madrasah Ibtidaiyah di masjid Alfalah Jalan Murni, Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal, usai berbuka puasa dan sholat maghrib. |Foto: Berita Sore/Hj Laswiyati Wakid
[/caption]

Hal. 34: “Seperti Obama, Jokowi (Presiden RI) menawarkan kebijakan pendidikan yang dapat dicapai semua orang untuk menutup kesenjangan di antara yang kaya dan yang miskin. […] Jokowi juga menghadapi tantangan kuat baik dari gabungan partai oposisi di DPR maupun dari partai-partai koalisinya sendiri, yang menolak perubahan. Tentu saja impian Jokowi untuk Indonesia, lebih jauh jangkauannya dibandingkan dengan Obama. Dengan adanya fakta-fakta keadaan sosial Indonesia dan perkembangan politik  hingga saat ini, tantangan yang dihadapinya jauh lebih berat.”

Membaca buku diplomat yang mendapat banyak penghargaan ini, Kompasianer (baca: saya) berkesimpulan bahwa Stanley blusukan sampai jauh, mendalam, dan menembus tembok budaya, tembok praduga yang berdasarkan kurang pengetahuan atau pemahaman antar budaya Indonesia-Amerika, Muslim-Non Muslim dan sebaliknya. Sebagai diplomat, penghargaan dalam berkariernya membuktikan kapasitasnya blusukan lintas negara, benua, budaya, dan lintas sektor kehidupan.

“Saya dari Colorado, tapi isteri saya dari Indonesia. Sudah 27 tahun kami bersama-sama tinggal berpindah-pindah, di Indonesia, Malaysia, Taiwan, Tiongkok, dan Afrika.”  (Seperti Bulan dan Matahari, Indonesia dalam Catatan Seorang Diplomat Amerika , hal. 14)

“Jika kurang senang dengan sesuatu atau seseorang, isteri saya akan memberi isyarat yang halus, mengerutkan alis matanya sedikit, atau menyentuh lengan saya, meminta diam. Kalau seseorang bersikap kurang sopan terhadapnya, cukup baginya untuk menegakkan punggungnya sebagai tanda kepada orang tersebut untuk mundur --- seorang Jawa biasanya akan mengerti teguran tersebut.” (hal. 46)

Dari aspek kehidupan pribadi, Stanley Harsa membuktikan bahwa blusukan itu sangat luas dan dalam maknanya, jauh lebih luas dari sekadar cara mencari tahu lebih banyak suatu akar persoalan, akar pemahaman, dan apa yang tidak selalu tampak tertulis atau terucapkan. Blusukan itu membuat dua hati bertaut dan menyatu sampai selamanya – apa lagi kalau bukan blusukan ke hati sang putri Solo, belahan jiwa – dan semakin kokoh dengan kehadiran kedua anak-anak yang menjadi anak-anak generasi Third World Kid.

Mereka(baca:Annisa Harsha & Sean Harsha) menghabiskan seluruh hidup mereka  untuk memutuskan apakah mereka Amerika, Indonesia, atau Third World Kid, anak-anak yang mengidentifikasikan diri pada lebih dari satu budaya.[…] Mereka juga merindukan malam-malam pergi makan nasi goreng di kaki lima.” (hal. 47-48)

Buku setebal 254 halaman ini sungguh membuat pembaca terharu biru, serius, tercerahkan, dan sekaligus merasa geli dan terhibur, karena isinya yang sarat makna dan nuansa.

Di mana bisa mendapatkan buku ini?

Buku ini tersedia di seluruh Toko Buku (TB) Gramedia, tetapi versi Bahasa Inggris-nya hanya dijual sesudah pertengahan Mei, di TB Gramedia tertentu, yaitu TB Gramedia Pondok Indah, Matraman dan Grand Indonesia. Pada tanggal 9 Mei, buku tersedia on-line, hard copy atau E-copy di SCOOP.

Menyusul berikutnya, peluncuran yang rencananya diadakan di Medan, Padang, Palembang, Solo dan Banda Aceh. Saat Kompasianer menanyakan kemungkinan pihak lain mengundangnya untuk ceramah atau diskusi buku, Stanley menyatakan bersedia. Untuk itu dia bisa dihubungi di akun Facebook: stanley harsha, atau di Twitter: stanley_harsha.

Salam Kompasiana! | Twitter: @IndriaSalim

Referensi:

http://buku.kompas.com

http://www.antaranews.com

http://beritasore.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun