Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bekerja Jujur Itu Mulia

1 November 2016   18:37 Diperbarui: 1 November 2016   19:28 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekerja Bangunan | Foto: Indria Salim

Orang muda itu usianya kira-kira sebaya dengan ponakanku yang kuliah di semester 6. Wajahnya serius meskipun tidak mengaburkan profil model Rangga-nya si Cinta, katakanlah begitu.

Rambutnya yang gondrong dan tebal semakin mengasosiasikan ingatanku pada keponakanku itu. Suaranya pun sewarna, kalimat singkatnya mengesankan kalau orang ini agak pendiam dan sama sekali jauh dari kriteria urakan. Yang bikin trenyuh, postur tubuhnya kecil, tangannya tidak seperti pekerja bangunan yang pada umumnya berotot dan gempal. Tentu ini bukan bermaksud membuat generalisasi.

Kusamperin dia di rumah tetangga yang sedang direnovasinya bersama dengan teman sekerja. Kutanyakan apa waktu dan tenaganya bisa kupinjam sebentar buat memeriksa genteng rumah, karena kemarin dua kamar mendadak bocor agak besar selama hujan besar bercampur angin kuat mengguyur kawasan perumahan kami.

Namanya memakai huruf yang nyaris sama dengan huruf-huruf namaku, jadi mudah diingat. Dengan sigap genteng yang ternyata pada bergeser sudah dibetulkan letaknya. Lalu kumintai tolong membetulkan kunci kamar yang kemarin sempat dijebol karena tidak sengaja tertutup dari luar pas kupergi buru-buru.

Dia melakukan pekerjaan lain yang meskipun sederhana, tidak bisa kulakukan sendiri karena harus memanjat ini dan itu. Keluarga lagi pada di luar kota, dan menunggu mereka pulang rasanya kurang nyaman. Hujan datang setiap sore dan selalu deras dan lama.

Ini kali kedua dia membantu hal kecil, namun hal kecil itu urgen.Setelah selesai, kutunjukkan padanya salah satu pintu yang perlu diganti, dan kulihat kemungkinan apakah dia bisa membantu di hari lain, kubilang, "Kalau perlu berdua, gak apa biar lekas beres."

Aku memang menanyakan di mana pemborongnya, agar aku tidak melanggar etika memakai tenaga orang. Dia bilang masih minggu depan baru akan tiba dari kota lain. Dengan cepat dia bilang, "Saya juga kadang-kadang menjadi pemborong. Banyak teman-teman tim juga."

Tidak ada nada mengecap atau membual. Tidak ada nada sok sanggup, kutangkap itu sekadar tambahan informasi yang perlu kuketahui. Di kompleks kami, penghuni dilarang mempekerjakan tukang di hari Minggu. Ya, itu hal yang harus dipatuhi warga. Tidak apa, yang penting aku sudah menemukan tukang, yang setidaknya bisa kupercaya dan akan mengatur jadwal kerja bila sudah longgar.

Lalu mengapa aku menuliskan cerita keseharian yang nggak penting ini?
Ada satu hal yang untuk kesekian kalinya membuatku terharu dan mendoakan dalam hati agar orang-orang tulus dan jujur, mendapatkan kesejahteraan yang membahagiakan yang bersangkutan. Sesederhana apa pun pekerjaan atau profesi seseorang, sekecil apa pun upah yang didapat seeorang, bila mereka bekerja sungguh-sungguh dan berdedikasi, apalagi kalau dalam ketulusan selain juga profesional, semua itu sungguh mulia di mataku. Kupercaya, pun begitu Sang Pencipta memerhatikan umatnya satu persatu.

Satu hal lagi yang membuat aku meleleh, begitu pekerja muda itu kuberi sedikit imbalan jerih payah -- selayaknya upah pekerja lepas dalam hitungan proporsional menurut standarku berdasarkan harga pasaran pada umumnya. Dia tidak menampakkan ekspresi berlebihan. "Saya jadi nggak enak, Bu. Kemarin saya sudah diberi uang juga."

Dalam hatiku, "Ini kan upah kerja profesional saja."
Padahal tukang sapu jalanan kompleks yang sebelum ini bahkan mendapatkan "upah" jauh lebih besar untuk pekerjaan yang kurang lebih sama, dan sekarang malah sulit dipanggil ke rumah. Tukang lainnya juga entah pada ke mana, nomor mereka tidak bisa dihubungi, Mungkin HP mereka dicuri ya?
Tukang sapu ini juga baik, sih, tapi agak banyak curcol dan keluhan ketidakpuasan kerja tentang mandornya. Yang penting aku tidak ikut mengompori, dan cukup menyemangati saja agar anak-anaknya di rumah pada sehat dan sekolahnya lancar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun