Hidup Mulai dari Usia Kapan Saja
Awalnya pepatah mengatakan, "Life begins at 40". Yang mbeling ataupun kreatif, bebas juga mengatakan, "Love begins at 40", inilah era kebebasan berpendapat.
Dalam perkembangannya, setiap orang mengadopsi ungkapan itu dengan penyesuain angka usia tergantung kisah hidup individunya. Maka tidak mengherankan jika aku semakin sering membaca ungkapan "Lyfe begins at 50" dan seterusnya.
Singkatnya, 'dimulainya kehidupan' itu adalah semacam ekspresi atau pemaknaan sebuah momentum, sebagai bagian perjalanan kehidupan seseorang.
Interpretasi saya, "Life" dimaknai sebagai kemunculan perasaan lahir baru, semangat baru, produktivitas kehidupan yang terbarukan, kesadaran baru menghayati rasa syukur dengan segala aktualisasi ataupun perwujudannya.
Dalam konteks siklus kehidupan seseorang, secara umum masih banyak anggapan bahwa seorang individu dianggap lengkap apabila semua tahapan sesuai standar dan norma masyarakat telah terlaksana atau terpenuhi.
Lahir, khitan, akhil baliq, menikah, punya pekerjaan tetap, punya anak, punya cucu pun cicit. Dan semua itu terlebih bila tampak sebagai album kehidupan yang utuh dan indah.
Tentu di era penuh perubahan dan ketidakpastian ini, gambaran hidup sempurna dan utuh menjadi agak mirip utopia. Ada saja lubang 'kekurangan' atau mata rantai yang hilang dari album kehidupan yang diharapkan 'ideal'.
Sangat banyak contoh atau ilustrasi tentang dikotomi antara harapan dan kenyataan hidup ini. Satu dan lain hal yang mungkin terluput dari jangkauan dan penglihatan 'mata' masyarakat atau lingkungan sosial menurutku, soal persepsi.
Harapan dan Realita Pasangan dengan, atau Tanpa Anak
Orang yang tidak menikah bukan karena kewajiban tertentu, misalnya, dianggap hidupnya 'belum lengkap', pun yang sudah memiliki pasangan namun tidak berketurunan -- cenderung dikepoin.
"Mengapa pasangan itu nggak punya anak? Siapa yang bermasalah? Mengapa nggak ikut program bayi tabung? program ini itu yang sudah terbukti sukses membantu pasangan yang mendambakan keturunan?" dan sebagainya.
Lalu secara pribadi  tercetuslah beragam ungkapan hati yang disampaikan secara terbuka, di media sosial, dalam percakapan pribadi, atau komunikasi langsung maupun bisik-bisik.