Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Resign di Masa Ketidakpastian, yang Sebaiknya Anda Tahu

10 Maret 2021   15:15 Diperbarui: 10 Maret 2021   22:10 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Idealnya resign karena alasan positif | Foto: Indria Salim

Resign", satu kata dengan banyak cerita, makna, dan nuansa.
Ada kemungkinan cerita sedih, senang, membanggakan, tak terlupakan, disesali -- itu yang menyertai satu kata tersebut.

Secara kontekstual, resign (mengundurkan diri) bisa berkonotasi negatif, bila baik bagi pelaku ataupun organisasi, kantor, atau pekerjaan yang ditinggalkan oleh pelaku, dalam hal ini seorang staff atau mereka yang apapun posisinya -- bekerja di tempat yang bersangkutan dalam situasi konflik.

Nuansa dari keputusan resign juga beragam, misalnya saja -- demi pengembangan diri, demi mengejar passion awal bekerja, agar tingkat penghidupan lebih sejahtera, demi keluarga, dan sebagainya.

Tetangga saya pagi-pagi pada suatu hari yang cerah, mengirim WA. Dia minta tolong agar saya mereviu CV yang disiapkannya untuk melamar pekerjaan di organisasi X. Dia sendiri masih bekerja sebagai seorang manajer di biro HRD, berkantor di Jakarta -- kantor megah sebuah perusahaan swasta ternama.

Saat itu adalah pertengahan tahun 2020, walaupun di tengah masa pandemi dia tetap ngantor sekaligus WFH, dengan jadwal 2 hari WFH dan 3 hari kerja di kantor.

"Memangnya sekarang kenapa?" tanyaku sebelum menyanggupi mereviuw CV-nya.
Jawabnya, "Bikin galau, mBak. Semua makin serba nggak pasti, termasuk posisiku yang tiap saat bisa digeser!"

Sedikit banyak, kebetulan saya bisa membayangkan situasinya -- baik dari sisi internal kantornya maupun situasi dunia usaha sejak masa pandemi.

Dia pernah bercerita, di kantornya itu berlaku intrik, favoritisme, politik siapa lebih didengar owner perusahaan, dan banyak faktor lain yang membuat tetangga saya serasa sedang duduk di kursi panas.

"Oke deh, nanti malam kureviu CV-nya. Tapi menurutku usahakan dapat bekerja penuh konsentrasi, jadi performa kerja tetap baik. Tak kalah penting, rundingkan dengan suami juga permasalahannya," saranku.

"Iya, Mbak. Aku usahakan, sih. Terima kasih sebelumnya."

Idealnya resign karena alasan positif | Foto: Indria Salim
Idealnya resign karena alasan positif | Foto: Indria Salim
Memikirkan kegalauan tetangga itu, saya teringat pengalaman pengin resign dan berkali-kali batal, lalu begitu sekali resign, saya malah jadi lebih mandiri dan tidak melihat kantor sebagai dunia satu-satunya tempat saya menggantungkan nasib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun