Tentang copywriting, dulu saya pernah mempraktikkannya tanpa menyadari ikhwalnya. Itu cerita satu dekade yang lalu, saat saya diminta membuat tulisan pendek yang akan dipakai untuk sebuah brand kopi dalam peluncuran varian produk barunya. Konon order awal dari "agency" itu adalah menerjemahkan, ternyata saya harus membuat konten yang sama sekali baru, berbahasa asing pula.
Dalam soal beginian, saya merasa puas bila hasil akhir telah melalui proses swasunting, konsultasi dengan beberapa teman untuk bagian yang saya tidak yakin itu frasa terbaik, atau yang paling mengena. Ya, semacam QC (quality control) cara saya.Â
Itu tahun 2009-an, ketika tantangan dunia usaha dan kompetisi pemasaran belum semasif era digital dengan digital marketing-nya.
Waktu berlalu, sampai pada tahun 2013 saya  mulai menulis di Kompasiana. Baru juga memetakan diri di tengah nuansa warna Kompasiana, satu artikel saya tahu-tahu dimuat di Kompasiana Freez, halaman khusus di Kompas Cetak, berisi tulisan tematik terpilih karya Kompasianer.
Cerita saya dengan Kompasiana berlanjut sampai detik ini, lengkap dengan romantika-dinamikanya menulis di platform (dulu) yang disebut Blog Jurnalisme Warga, berkembang sebagai Etalase Warga.Â
Iya, etalase tempat kita memajang karya, yang ternyata mengundang minat pihak luar yang butuh "copywriter"Â dan sejenisnya.
Dari tahun ke tahun, saya beruntung disertakan (tepatnya ditawari) untuk ikut dalam program-program kolaboratif Kompasiana dengan pihak luar -- institusi pemerintah, BUMN, entitas bisnis skala kecil, menengah, juga besar.
Nah, pada era itu ceritanya peran saya adalah sebagai penulis eksklusif (exclusive writer).
Manfaat apa yang saya dapat?
Material/ finansial berupa honor menulis tentunya, dan merchandise yang menjadi bagian dari branding dan kegiatan promosional organisasi/ perusahaan/ korporat yang bersangkutan.
Menggairahkan, membanggakan, dan bermakna secara mental.
Manfaat Non-Material
Walaupun tidak selalu bahagia menulis di Kompasiana, itu sebenarnya suatu kewajaran dalam sebuah "hubungan dan interaksi", termasuk saya dengan Kompasiana.
Anggaplah itu bumbu dan seni kehidupan. Kalau berpikir positif, menulis di Kompasiana lebih banyak suka daripada dukanya.
Lha gimana, saat saya jenuh atau merasa kepala penuh dari perkara keseharian, juga ada hal yang rasanya perlu saya bagikan, maka (pe)lari(an)nya ke Kompasiana, ya nulislah.
Pada satu titik, momen itu mendorong saya menjadi seperti apa yang saya lakukan saat ini, "praktisi media sosial" yang terus harus belajar dan beradaptasi, baik dengan lingkungan komunitas maupun tuntutan era digital yang harus diakui sebagai eranya generasi milenial.
Terwisuda bersama dua puluh Kompasianer sebagai alumni Danone Blogger Academy Angkatan ke-1, memberikan daya dorong bagi saya yang akhirnya membuat sebagian orang mengenal saya sebagai "influencer", dari yang sekitar tiga tahunan lalu disebut blogger. Ini proses yang tidak resmi berjalan alamiah saja, dan ini bukan sekadar "self-claim".