Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi: Tangisan Sunyi

20 Juni 2020   08:59 Diperbarui: 20 Juni 2020   08:53 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bocah cilik itu kembali. Seluruh hunian kini diwarnai tangis seraknya. Seorang tetangga mendambakan anak, sembilan tahun menanti dan akhirnya pupuskan asa. Dia trenyuh dan hancur hatinya menjadi saksi kebingungan bocah tanpa kasih sayang.

Bocah itu bungsu dari empat bersaudara. Sejak mulai bisa berjalan, peran bungsu mirip korban perundungan oleh kakak-kakaknya, atau anak ayam merindukan rengkuhan hangat sayap induknya.

Belum cukup, keluarganya ambyar karena ibunya lebih memilih hati seorang pria yang setiap hari menjadi tukang pengemudinya di dunia kerja.

Suatu pagi, kudengar suara ayah si bocah bercerita dengan tetangga di seberang rumah.
Ternyata itu kunjungan terakhirnya di rumah keluarganya sendiri.


Ayah bocah itu seakan dilupakan oleh anak-anaknya. Mereka lebih sering memanggil nama ibunya, karena dia yang memberi bekal sekolah pada mereka.

Sampai ungkapan ini selesai kutulis, si bocah masih menangis. Hanya ada seorang pengasuh. Seorang pengasuh dengan lengan tangan penuh tatto, mengenakan kaus lusuh dan celana pendek musim panas. 

Namun perempuan muda ini terdengar sabar berbicara dengan si bocah yang berbicara di tengah tangisnya.

Hati bocah kecil yang lembut. Dia mampu menghibur anak kecil sebayanya yang menangis karena mainannya rusak. Sementara dirinya sendiri menangisi ibunya menghambur ke jalan bersama derum mesin mobilnya, mengejar urusan dunia orang dewasa, mengejar prospek calon pembeli properti.

Sopir pribadi itu sudah mengubah posisi seorang ibu beranak empat, seorang isteri penopang ekonomi keluarga, menjadi madu bagi isteri pertamanya.

Sedikit lega. Pada titik ini bocah manis sudah berhenti menangis. Ya, berbarengan dengan tanda titik pada catatan harianku. Sunyi, tenang, terlupakan.
::: Indria Salim ::: 20 06.2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun