Untuk mendengarkan pembacaan puisi ini, silakan klik video di atas. Terima kasih.
Secepat itu kau berlalu.
Derai cemara menghembuskan angin dingin.
Hujan yang turun tiba-tiba.
Menderas, meluruhkan endapan sesal.
Hari ini air mata untukmu.
Kemarin tentang perawat itu.
Sehari sebelum kemarin, tetes air mata bagi pahlawan penghalau virus
Sederet nama berganti angka, semakin besar saja bilangannya -- yang berjuang, bertahan, menang, atau kalah.
Walau jutaan aksara tercurah dari langit kelabu.
Tiada 'kan setara dengan kepedihan semesta, kehilangan dan kepergian itu sebabkan hati mati rasa.
Harum bunga di pusaramu, menyelinap di relung-relung hati pengagum nyanyian jiwa.
Kepergianmu bersamaan dengan mereka yang tidak sempat berpamitan kepada orang-orang tercinta.
Jejak hati 'kan mengakar dan bersemi kembali.
Itu jika tidak terkubur dan mengabur.
Serupa ilalang yang dibakar, atau mewujud kuncup asa menanti saatnya mekar.
Mendung tidak selamanya menggantung. Semburat cahya suci-Mu menyibak misteri waktu ilahi. Bianglala menghiasi angkasa. Aku mencari pesan di baliknya.
Menunggu seberkas tanda "Ya, masa hening akan berakhir" dan "Amin"
:: Indria Salim ::
9 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H