Sabtu kemarin suasana di lingkungan kompleks masih penuh dinamika. Pagi yang hangat memberi kesempatan warga kompleks saling menyapa dari kejauhan, ada yang sambil bersepeda, jogging, atau jalan-jalan. Walau begitu menurut pengamatan saya, sudah mulai tampak adanya kesadaran menjaga jarak fisik maupun sosial.
Pukul 11.00 WIB, saat layanan GoFood dan para pengirim paket beroperasi di sini, cuaca sejuk mendayu. Kini pukul 14.07 WIB, hujan lembut dengan angin gemerisik membawa kabar kesedihan dari orang yang meninggal karena corona.Â
Ya, seorang dokter gigi meninggal dan statusnya positif terinfeksi Covid-19. Almarhum sebelum meninggal justru orang yang menyarankan Walikota Bogor untuk secara mandiri memeriksakan diri, setelah sebelumnya kembali dari kunjungan kerja di Turki. Yang bersangkutan ternyata terdeteksi positif Covid-19.
Berita seperti di atas mewarnai pertukaran informasi antara saya dengan seorang tetangga. Kami sudah hampir dua minggu melakukan pembatasan diri atas kegiatan di luar rumah, khususnya menghindari kerumunan dan pertemuan dalam kelompok.Â
Di rumah, kami melakukan kegiatan rutin dan lain-lainnya yang perlu perhatian khusus atau ekstra.
Hari Minggu (29/03) suasananya berbeda lagi. Ada penyemprotan dalam rangka mencegah penyakit DBD (Demam Berdarah). Ada pemantauan tidak langsung yang membuat kami tahu, kita masih dalam masa prihatin. Itu "kata kuncinya".
Sebenarnya bulan dan minggu-minggu pandemi ini, terutama seminggu ini saya sedih, namun berusaha mengatasi hal-hal negatif, memfilter berita antara yang valid dengan yang hoaks, antara yang perlu dan yang dominan membuat pesimis, atau psikosomatis.
Pertama, mengingat pekerja yang pendapatannya tidak tetap, dan yang mengandalkan tetesan rezeki harian, lalu kini ada yang mengalami "sepi order, sepi pembeli, sepi sendiri", dan bahkan ada yang mungkin "terpaksa" dirumahkan secara permanen. (baca: pemutusan hubungan kontrak kerja).
Laporan resmi pemerintah tentang jumlah kasus covid-19 terus meningkat, ODP, PDP, angka kematian, dan "angka kesembuhan yang masih lebih kecil dibanding jumlah kasus".
Berdasarkan data resmi, DKI Jakarta menempati peringkat teratas - jumlah kasus, yang dirawat, dan yang meninggal. Bagaimanapun cara dan kejadiannya, saya berharap agar hal seperti ini tidak akan terjadi di wilayah manapun di Indonesia, dan semoga yang paling terdampak pun akan bisa semakin membaik kondisi realitanya.
Ini hal serius yang menjadi tanggung jawab kita bersama, dalam kapasitas dan peran masing-masing. Pengusaha mungkin juga dalam dilema, pun pemerintah.
Saya menyayangkan mereka yang mabuk agama, mabuk ambisi kekuasaan, mabuk sampai halusinasi, mabuk akting jagoan keadilan sosial, yang menggemakan/ bikin berisik, cecuitan sensasi dan opini yang asal bunyi, tanpa berempati dan memikirkan berada dalam posisi pihak-pihak yang dalam masing-masing dilema di atas. Saya sendiri adalah bagian dari wong cilik, menadah rezeki dari "sangkan paran" (Jw: ada aja dan halal) yang pas-pasan.
Maka saya hanya bisa berharap, mudah-mudahan KITA semua yang mencintai Indonesia sebagai rumah jiwa kita, selalu sehat, yang sakit tersembuhkan, dan semua sukses melewati krisis dampak pandemi corona.
Oh, merasa di rumah aja, tapi malah boros? Menurut saya, itu bagaimana kita menyiasatinya, juga bagaimana kita memandang atau menyikapi masa-masa harus bekerja dari rumah (WFH).Â
Kedua faktor itu menjadi paradigma, yang pada praktiknya mendasarkan tindakan kita.Â
Contohnya, kita sedang berlibur, hampir otomatis benak kita melonggarkan banyak hal yang intinya "semua biaya, waktu, dan pengalaman kita maksimalkan untuk kepuasan berlibur".Â
Hal yang sama berlaku juga terkait dengan penerapan situasi yang mengharuskan orang lebih banyak bekerja dari rumah. Bukankah alokasi biaya transportasi bisa dialihkan untuk hal lain yang bukan semata konsumtif? Itu satu contoh saja.
Di rumah saja, bukan berarti rebahan sia-sia, berleha-leha sambil makan-tidur sepuas-puasnya. Bekerja dari mana saja, kita tentu perlu memikirkan penyediaan dan ketersediaan biaya untuk memenuhi kebutuhan hari esok.Â
Hayo pilih mana, "Besok makan apa?" atau "Besok apa makan?"
Mudah-mudahan kita bisa lebih bijaksana daripada sebelumnya.
[Indria Salim - 29.03.2020]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H