Bagi mereka, dirinya adalah ulat bulu.
Ulat bulu yang menghabiskan protein di sekitarnya.Bergidik bagi yang melihatnya, dan siapapun yang terkena serpihan bulunya akan mengalami rasa gatal dan panas di sekujur tubuh.Angin tidak peduli, bila dari tiupannya seorang anak menangis karena serangan gatal yang meroyak kulit.
Seburuk itukah diri ini di mata mereka?
Dia tidak kuasa mengubahkan kodratnya.
Bersembunyi saja, bila itu bisa membuatnya merasa menjadi diri sendiri.
Metamorfosis, semesta memanggilnya.
Pun bila itu berwujud kematian.
Mati, melebur dengan bumi, atau menjadi seekor kupu-kupu indah yang dinanti-nantikan para pencinta.
Pemuja sejarah mengabadikan kisahnya sesudah kematian. Mereka menyukai kenangan, dan kepingan episode kehidupan sesama ciptaan-Nya.
Mereka menyemai iri di lubuk hati terdalam, menikmati bara tumbuh mengakarnya.
Sebuah kenikmatan hidup dalam gelegak amarah dan kerinduan terhadap kematian sesama ciptaan.
Mungkin mereka adalah yang tertolak oleh nurani jernih pencinta kehidupan.
Metamorfosis terus memanggilku.
Penolakan oleh jiwa-jiwa mati dalam kedagingan yang lapar, aku tidak peduli lagi. :: Indria Salim ::
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H