Hujan pertama, kau menyambutnya gembira
"Ini kebahagiaan yang lama tertunda," katamu
Hujan keesokan harinya,
kita memandangi dari jendela kaca, diam dan terpesona
"Apakah lusa akan hujan?" kau bergumam sendiri
Aku memikirkan hujan yang sudah lama berlalu
'Kalau kau menyukai hujan, mengapa wajahmu muram saat air jatuh dari langit?' itu sebuah tanya dari hatiku yang biru
Memikirkan Kekasih yang pergi.
Kau yang menyukai hujan pertama semata.
*
Kita berterima kasih kepada hujan
Aku memiliki alasan berbincang di emper toko sini selagi berteduh
Kau tidak ragu menahanku tinggal lebih lama di teras rumahmu
Kujadi tahu, ibumu menyukai aku
Secangkir teh panas buatannya,
menghangatkan hatiku yang semula meragu
Halilintar menggelegar.
Aku menunggu kepulanganmu.
Sampai kabar itu,
menerjang realita di luar imajinasi
Wajahmu lebih hitam dari arang.
Indah matamu terpejam.
Orang-orang yang baik hati itu.
Membawamu pulang ke rumah.
Halilintar merenggutmu dariku.
Lalu semua menjadi gelap bagiku.
Selamat jalan, Kekasih.
Kini dan kelak,
hujan pertama tak pernah sama lagi.
*) Puisi ini terinspirasi dari kepergian seorang teman yang baik hati, wafat tersambar petir saat dia dalam perjalanan pulang mengendarai skuternya dari tempat bekerja. Dia wafat meninggalkan duka mendalam bagi isteri dan putranya yang saat itu masih bayi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H