Lagi nunggu angkot mau pulang dari jalan-jalan pagi.
Disamperin seorang perempuan paruh baya, wajahnya serasa kukenal di lingkungan tetangga.
"Bu mau ke mana?"
Kulihati wajahnya, feeling mengatakan dia butuh duit dengan ngojek iseng-iseng begitu.
"Saya ngojek juga tapi pribadi," jelasnya seperti menjawab tanya dari pandang mataku.
"Ke situ berapa?"
"Terserah Ibu aja," katanya.
Semula ingin naik angkot karena bisa nyambung jalan kaki lagi mumpung hangat matahari menggoda sekali, namun kuat berempati padanya, aku spontan memutuskan untuk naik ojek amatiran ini.
Begitu naik, dia mulai nanya-nanya seperti menghimpun info kebiasanku bepergian. Sudah gitu cara mengemudinya bikin aku was-was -- pelan kaya siput tapi pindah-pindah persnelingnya menghentak-hentak dan tiap beberapa detik pula.
"Udah deh nggak usah ngobrol, saya takut nih jalanan padat."
Dia langsung diam tapi tetap dengan gaya mengemudi yang payah.
Dia lebih gemuk (baca: kekar) daripada aku, juga tampaknya usia produktif. Memakai baju mirip blazer panjang, kancingnya terbuka dari atas sampai bawah mengarah ke punggung. Mungkin dia cuma butuh menutupi lengan, tangan dan bagian depan badan saja.
Tanpa tutup kepala (helem atau topi), rambut kejurnya ditekuk dengan jepitan rambut biasa. Itu menambah kesanku, dia meluangkan waktu meninggalkan rumah demi mendapatkan tambahan penghasilan.
Saking lambatnya dia mengendarai motornya, aku serasa sedang duduk mojok di ruang kerja, merancang sebuah tulisan tentang perempuan ini. Kupikir akan menulis tentang perempuan ini dengan menambahkan elemen inspiratif tentang kerasnya perjuangan hidup. Halah!
Sampai di depan pos satpam kompleks aku minta berhenti. Dia nanya, "Ibu kalau masuk kompleks biasanya gimana?"
Kujawab sekenanya, "Jalan kaki, ya apa aja."
Kuangsurkan uang yang lebih banyak dibanding kalau aku naik gojek, atau opang.
"Ibu, gak bisa kalau segini, saya nganter dari X aja segini."
Seketika aku merasa tertipu dengan modus "terserah Ibu saja" yang awalnya dijanjikan padaku.
Kutambahi sesuai "kode" nominal yang diinginkannya. Jadi kesal, aku serasa setengah "ditipu", atau "diintimidasi".
Gak bilang terima kasih, dia main selonong malah masuk ke kompleks, berdalih "mau cari Oma yang pernah saya antar ke sini."
Aku makin curiga, dia mungkin orang yang sering keliling kompleks ini, mungkin tukang kue keliling ... mungkin mirip saja.
Aku kesal dengan diri sendiri yang mudah ganti rencana walau sepele, cuma karena merasa "bersimpati" dengan bujukan orang tak dikenal.