Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hidup Bagai Grafik Statistik

29 Juli 2019   09:51 Diperbarui: 29 Juli 2019   10:59 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafik Kehidupan | Ilustrasi: azquotes.com

"Hidupku adalah satu kurva panjang yang penuh dengan titik balik," ungkap mantan Perdana Menteri Kanada -- Pierre Trudeau.

Saya jadi ingat sekian tahun yang lalu, Kompasiana Nangkring mengangkat tema "Titik Balik", menampilkan beberapa Kompasianer keren dan pemberani yang berbagi pengalaman tentang hal dan peristiwa dalam kehidupan pribadi yang mengubahkan, secara signifikan, dan tentunya dalam pengertian yang positif.

Kehidupan itu layaknya sebuah kurva. Ada yang memiliki banyak grafik naik-turun yang tajam; kadang hanya satu puncak lengkungan; namun ada juga yang menunjukkan sedikit lengkungan naik turun sebagai penyeimbang saja.

Sementara itu, tentu ada juga orang yang grafik kehidupannya nyaris tanpa lengkungan dan itu sama artinya sebuah garis linier yang datar.

Pada kurva manapun, sebaiknya kita bisa menghayatinya dengan penuh kesadaran. Hanya dengan kesadaran diri, maka semua akan bisa kita jalani dengan penuh makna.

Mudahnya saya menuliskan "celetukan" di atas, namun tidak semudah itu menjalaninya. Toh hidup dan kehidupan itu sungguh luas perspektifnya dan itu adalah soal bagaimana setiap individu melihatnya, ragam dasar pijakannya, tolok ukur kesuksesan dan kebahagiaan, begitulah kira-kira. Ini belum lagi soal tingkat ketangguhan setiap orang yang sangat unik.

Namun mungkin ada semacam perlengkapan atau bekal yang secara relatif universal, yang dari waktu ke waktu tersebutkan, disarankan oleh para bijak dan cendekiawan, misalnya mentalitas berani; tangguh; lentur; tahan sabar, optimis; dan sebagainya. Manusia dengan akal budinya memang kompleks, siapa bisa menyangkal.

Itulah beda antara manusia (yang mudah-mudahan tidak hidup sia-sia) dengan makhluk ciptaan (hewan dan tumbuhan) yang hanya mengenal "lapar, dahaga, dan unsur instingtif" semata.

Perenungan ini jelas tidak memadai untuk membuat saya (dan Anda) merasa bahagia, bahkan bila itu sebatas untuk mengukur keadaan kita persis pada saat ini. Akhirnya, "do not worry, but let us be happy". Mudah-mudahan.

Indria Salim - IG @myworkingphotos

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun