Teringat momen-momen bahagia kita. Selalu saling menguatkan dan mendukung. Setiap hari berjalan di atas awan-awan mengawang, ringan dan memabukkan, menyapa burung bernyanyi, menikmati pesta bintang dalam terang purnama, dan malam-malam sesudahnya, pagi berikutnya, semua seperti mimpi indah yang membuat sebuah cerita purna.
Seperti hari ini, September masih memberikan waktu sedikit lagi bagi kita bercanda dengan matahari, pepohonan mempersembahkan buah-buahan terbaiknya, pun bebungaan warna-warni sungguh ajaib pesonanya. Pasir putih masih menyimpan jejak telapak kaki kita, pun nyanyian bersama masih segar terngiang bersama cumbu angin pantai.
Tapi kemudian kita tersesat begitu saja, tidakkah kau merasakannya? Mungkin pepohonan menjadi gersang, tidak ada lagi bunga bermekaran. Pasir putih tenggelam dalam air pasang penuh sampah dari antah berantah. Kita terhanyut dalam gagap emosi. Kita lupa saling mengenali diri masing-masing, pun diri sendiri yang semakin meragu. Kita semakin menjauh dari pantai itu. Aku di satu sisi, dan kau di seberang sana. Semua mendorong kita semakin jauh terpental dalam sesal.
Sang Purnama itu datang kembali, dan kita menyapa dari kedua sisi berbeda. Bintang-bintang mengabarkan tanda peduli. Burung-burung kembali meramaikan pagi. Angin menyapa melalui jendela. "Dia merindukanmu," bisiknya menyejukkan.
"Permataku, maukah kau memulai sebuah perjalanan baru? Mungkin bukan bersama kehangatan bulan September?" Cericit serangga malam membawaku pada sebuah pertemuan tak terduga. Rupanya kau ingin memberiku kepastian itu. Aku bersedia. Sebuah perjalanan baru, menambahkan lembar-lembar kisah kita, melukis pertautan hati tak seorang pun kan bisa membayangkannya. Kita, pengarang dan seniman sejati sebuah karya kehidupan. | Indria Salim |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H