Pukul enam lewat tiga puluh menit, angin menyusup melalui tralis dan kisi jendela kamarku. Tirai tipis melenggok genit, menyapa malas dengan senyuman sedikit panas. Syur! Cuma sekilas. Burung mencericit serasa terjengit. Mereka ada di pucuk pohon bunga kenanga. Mereka saling menyapa, burung malam terbang, burung pagi hinggap. Semesta menjalankan peran alaminya. Ada kedatangan, pun kepergian. Hujan mulai menitik, mendesakkan pagi bergegas. Angin enggan beranjak, syur. Dedaunan menggeleng dan menelengkan wajah. "Sudah ramai!" desah mereka.
Akhirnya, kurayakan rintik hujan mewarnai pagi pertama bulan September. Bagiku, ini sungguh sentuhan nan manis dari-Nya. Roda kehidupan terus berputar, tanpa jeda. Luar biasa itu bila aku bisa menghayatinya, selalu. Waktu tidak berkompromi. Waktu jua memberi janji. Tinggal bagaimana menyiasati derap langkah terpimpin. Pusatkan pandang mata pada ketetapan hati. Masa berganti selalu, meski berulang musim. Pohon kenanga menjelma patung kayu. Hijau daun dan rona bunganya sirna oleh kemarau bulan Juli. Namun tunas baru menyembul malu-malu. Harapkan izin-Nya 'tuk bertumbuh melaju.
Sayup hujan mereda. Bukan berarti sayonara. Fenomena kasat mata membaur sempurna. Datang, tinggal bersamamu, dan pergi tanpa atau dengan jejak masa. Oh, langit masih ungkapkan diri, "Ini bulan baru. Sambutlah!" Hujan menghambur kembali, lagi, dan lagi. Kehadirannya belum purna, rupanya. Dedaunan mulai menerima suasana. Tidak ada tarian mereka lagi, namun tunduk menyerap energi dari hujan pagi bulan September. Aku pun. | Indria Salim | 01.ix.2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H