Pada suatu sore yang cerah, saya menyirami tanaman di halaman depan yang langsung berhadapan dengan jalan raya dan deretan rumah tetangga di seberang jalan. Mobil tetangga depan melintas. Setelah memarkir mobil di halamannya, si pengendara yang seorang dokter, menghampiri saya. Dengan serta merta dan gembira, dia mengabarkan tentang kelulusan ujian tesis untuk Program Pasca Sarjana di universitas negeri ternama.
"Saya sekalian ngucapin terima kasih kepada Bu Indria."
Bukan berpura-pura kalau saya menanyakan alasannya berterima kasih kepada saya. Selain hal teknis, intinya dia mengungkapkan peran dukungan moral saya selama dia menjalani Program Studi yang penuh masa jungkir balik dan menyerap nyaris seluruh energinya, baik fisik maupun mental. Itu termasuk masa-masa ketika dia merasa hampir menyerah, karena Proposal Tesisnya dikritik super pedas oleh Dosen Pembimbingnya, yang tidak menyisakan sedikitpun semangatnya sebagai pribadi yang sedang berjuang memenuhi tuntutan kantor di tempatnya bekerja, yang juga sebuah universitas ternama di kawasan dekat tempat tinggalnya.
Melanjutkan obrolan dengannya yang menurut kami "disempat-sempatkan karena kesibukan masing-masing", saya kira masing-masing dari kami menyadari pentingnya membangun energi positif dalam mencapai sebuah tujuan dalam berbagai tahapan hidup ini.
Begitu masuk ke dalam rumah, sambil bekutat kembali pada tugas pribadi saya, serangkaian peristiwa dialog yang saya alami tidak terlepas dari kesadaran dan upaya, sengaja atau pun tidak -- memelihara sikap positif, dan itu cara mendasar untuk memelihara keseimbangan energi dalam diri.
Dialog, dalam hal ini yang saya maksudkan tidak selalu sebuah interaksi antar pribadi baik di dunia nyata ataupun maya (baca: media sosial). Dialog yang saya maksudkan berdasarkan pengalaman pribadi, adalah interaksi yang lebih luas daripada sekadar percakapan dengan orang lain. Kita tahu, atau perlu kita ingat, selain berdialog dengan orang lain, ada dialog batin dan percakapan antara dua pemikiran dalam diri kita yang biasanya justru bisa lebih kritis dan melelahkan. Namun dalam konteks tulisan ini, saya menekankan pada dialog yang membangun vibrasi positif, yang akhirnya menjadi daya dorong untuk membuat rencana dan keputusan hal-hal yang mengarah pada prinsip, "for the sake of a better tomorrow, starting from now on.". Ini bukan kutipan dari orang lain atau seorang tokoh, melainkan apa yang detik ini terlintas di benak saya.
Pikiran, tubuh, dan jiwa kita terkait erat dengan sumber energi. Terkadang kita merasa terjebak dalam getaran energi yang tingkatannya lebih rendah dari apa yang kita inginkan, dan ini kita kenal dengan ungkapan-ungkapan seperti, "Aku sedang tidak mood", "Aku lagi bete", dan semacamnya. Kebanyakan yang mengalami hal ini tentu berusaha mengatasinya. Kita mengidentifikasikan dan memahami penyebabnya, agar bisa mencari solusinya. Kedengarannya abstrak? Mudah-mudahan tidak ya. Â Pengalaman pribadi membuktikan, selalu ada cara untuk mendongkrak energi yang sedang mencelos. Setiap orang memiliki potensi untuk menjaga dan mengupayakan tingkat energi yang penting agar "hidup tetap hidup", "hidup semakin hidup". Setidaknya ini menurut saya berdasarkan dialog-dialog kehidupan itu.
Membaca, membuat kita berdialog dalam pikiran, merespon pemikiran dan pesan dari penulisnya. Sebagai contoh, saya sering terbawa pada suatu dialog saat membaca buku yang benar-benar melibatkan proses berpikir saya, entah itu buku fiksi atau non-fiksi. Ada beberapa buku yang meninggalkan kesan mendalam bagi saya, karena selama dan sesudah membacanya, banyak hal baru yang menggugah, membangkitkan, dan meningkatkan energi positif dalam diri saya. Buku-buku yang secara obyektif kita kenal sebagai buku yang bagus, memang memberi dampak positif baik langsung atau tidak langsung bagi pembacanya. Saya bisa menyebutkan beberapa di antaranya, baik dari penulis Indonesia maupun penulis dari negara lain. Saya yakin, Anda sekalian memiliki daftar judul buku yang secara pribadi memberi kesan mendalam dan memperkaya diri kita dengan energi positif, energi yang terbarukan.
Menulis, analogis dengan membaca, memberikan energi positif saat kita menyalurkan pemikiran dalam karya yang kita bagikan kepada pembaca. Ada dialog, tersuarakan atau pun tidak. Dalam hal menulis, ini unik. Unik karena pada umumnya kita menulis setelah ada gagasan, dan gagasan itu datangnya bisa dari mana saja, termasuk dari buku atau bahan bacaan. Bisa juga kita punya gagasan menulis setelah berbicara dengan seseorang, ini juga sering saya alami. Ada beberapa kali kesempatan, saya berbicara dengan orang-orang dari beragam latar belakang, orang yang "penting", orang "biasa", orang yang sedang stress atau  galau, orang yang sedang ingin menyalurkan kemarahan dan kekecewaan, atau orang yang sedang membutuhkan pendengar, bahkan membutuhkan penulis yang bisa mengisahkan cerita kehidupan dan mimpinya atas nama diri mereka.
Saya belum benar-benar menjadi penulis, namun karena menulis di Kompasiana, misalnya, dan ada beberapa cerpen yang sempat dipublikasikan dalam antologi cerpen, saya mengatakan hal ini kepada orang lain yang saya jumpai secara acak. Lalu saya terlibat dalam percakapan pribadi yang tidak saya sangka sebelumnya. Tiba-tiba saya "serasa" sedang bercakap selayaknya seorang motivator, atau setidaknya "kompor panas" bagi lawan bicara saya.
Saya yakin pada saat itu, kedua belah pihak dalam percakapan tersebut -- yang adalah saya dan lawan bicara saat itu, melihat datangnya harapan, timbulnya kekuatan dan energi yang saling menguatkan, yang menyalakan api optimisme masing-masing pihak. Dengan melihat hal positif dari lawan bicara kita, dan bila itu berterima dan disadari pengaruhnya yang positif bagi yang bersangkutan, lalu timbul reaksi positif yang dialamatkan kembali kepada kita. Maka mengalirlah energi yang terasa tergandakan berlipat dan berulang. Banyak detil yang bisa saya contohkan, dari dialog ringan, lambat laun namun terjadi cepat, berubah menjadi dialog yang menginspirasi dan mengarah pada optimisme baru.