Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Puisi] Pasar Rakyat

2 Februari 2018   03:11 Diperbarui: 8 Maret 2018   09:25 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pukul lima pagi yang sejuk, di sebuah pasar rakyat. Banyak orang terbatuk-batuk, sebagian karena badan rapuh terhempas angin sisa malam harinya. Sebagian lagi karena mereka memaksakan diri berbicara keras sambil tertawa dalam gelak bersambungan. Abang, Si mPok, Aki dan Nini, semua sama saja. Juga Cici dan Koko serta para tukang sayur dan abang bubur.

Ada pembicaraan tentang hujan semalam, yang sampai saat itu masih meneteskan dingin menyergap. Ada celoteh mimpi terhenti, berkelana menjadi raja sehari. Di ujung lapak seorang pedagang ayam potong merengut, kawan selapak tidak datang hari itu karena isterinya sedang melahirkan.

Dengan cepat Mpok Midun melahap singkong rebusnya. Dia tidak ingin kelaparan saat nanti melayani pembeli nasi uduknya. Bik Narti yang dagang ikan berdehem-dehem menahan sendawa. "Masuk angin telat tidur," ucap temannya yang mengerik punggung dan lehernya.

Fajar semakin terang. Deru motor semakin riuh, mengantarkan penumpang yang ingin berbelanja pagi-pagi. "Ngueng, Drueng-ngueeng ngueeng," motor-motor hilir-mudik mengantar-jemput penumpang. Kehidupan sudah semakin sibuk.

"Mpok, gorengannya makin kecil-kecil aja. Rasanya juga cuma asin, nggak ada bumbunya," Bu Broto menatap pedagang gorengan itu dengan mata menuntut.

"Yah, Buk, semua bahan harganya naik. Kalau saya ikut naikin harga jualan saya, bisa-bisa teman-teman pelanggan tidak mampu beli. Kan yang seperti ibuk ini dapat dihitung dengan jari. Pelanggan saya rakyat kecil seperti saya. Nggak tega, Buk, mau naikin biar ada sisa untungnya. Ya beginilah, terpaksa bertahan dengan harga tetap, biarpun ukuran dan bumbu dikurangi. Tapi dikuranginya cuma dikit, lho Buk."

Bu Broto merengut, namun dalam hati manggut-manggut. Ia teringat berita di tipi semalam, seorang pria ganteng melambai-lambaikan tangan pamerkan seringai mautnya. Memabukkan penggemar, mengecewakan pemberi suara serta hak kerakyatannya, dan membuat seorang anggota anti rasuah mengumpat tertahan, "Huh, hidup penuh topeng. Penampakan bagai pangeran, ucapan bak malaikat, kelakuan jelas penggerogot uang rakyat."

Aroma pindang ikan belanak amis menembus sistem syaraf otak Bu Broto. Dalam hati dia tertawa sendiri, karena dia berbeda dengan tetangga lainnya, yang berbelanja di hipermarket berlantai kinclong mewangi. Percakapan tentang gorengan yang semakin kecil usai sudah. Tertimpa suara menghiba seorang perempuan tua, yang minta utangan gorengan hari itu, padahal yang kemarin pun belum dibayar.

Bu Broto ngibrit, melewati Abang tukang sayur dan pedagang minuman yang sedang berbalas canda -- itulah romansa mereka. :: @IndriaSalim ::

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun