Bejo bertemu Keno di pengkolan jalan. Mereka saling tidak menyangka bakal dipertemukan seperti itu, karena Bejo tinggal di Malabar, sedangkan Keno baru saja sampai di kota tempat Bejo tinggal. Setelah bersalaman erat saking senangnya, lalu saling gaplok pundak tanda persahabatan erat gaya macho. Syahdan, kedua sahabat maya yang berubah menjadi karib beneran itu bergegas untuk nongkrong di warung kopi dekat situ.
Ditemani segelas kopi tubruk panas dan senyum Mbak yang punya warung, mereka mengobrol ngalor ngidul wetan kulon, lalu sampai pada satu frekwensi pemikiran: Compasiana yang mempertemukan mereka melalui pertukaran komentar di artikel mereka di blog keroyokan itu. Wajah mereka berubah serius, mungkin duarius. Yang satu mengeluhkan sulitnya masuk ke akun, padahal sudah ngebet nulis berbulan-bulan. Gayung bersambut. Keno yang dicurcolin Bejo menimpali dengan keluhan berbeda.
“Aku sih bisa masuk ke akun dan nulisnya lumayan lancar, tapi saking lancarnya malah bablas angine -- cuma numpang lewat, tanpa nangkring di bilik trending.”
Keduanya terbahak-bahak dengan curcolan mereka sendiri. Bejo menepuk jidatnya yang berkeringat karena lembabnya udara sore itu.
“Kita bikin Compasiana sendiri aja, ya semacam blog kerumunan cadangan kalau Compasiana sedang kumat compang-campingnya.”
“Caranya?” Keno langsung menelengkan kupingnya karena Bejo memelankan suaranya. Dia serasa disengat semut api yang bikin duduknya serba salah. Mengapa selama ini nggak kepikiran nulis di blog cadangan, ya?
Tidak ada kesepakatan yang jelas dari perbincangan kedua sobat Compasiana itu. Mbak yang punya warung diam-diam geli sendiri, sambil bertanya dalam hati, ‘Compasiana itu perusahaan apa kok sampai dua orang pengunjung warungnya itu seperti membuat ikrar mirip bapak-bapak yang di tipi yang diberitakan sedang bikin koalisi apalah-apalah. Sampai kedunya berpisah, mereka hanya sepakat dalam satu hal – mereka akan berusaha bertahan di Compasiana meski apa pun yang terjadi. Luar biasa.
Begitulah, Bejo sampai di rumah penginapan. Memang dia sedang ada urusan tak terduga di kota Malabar itu, makanya dia juga nggak menyangka bakal bersua dengan Keno. Sampai pukul 10 pagi keesokan harinya, pintu kamar penginapannya diketok petugas.
“Pak, mohon maaf fasilitas sarapan pagi sudah hangus karena tadi kami tidak berani mengganggu Bapak. Seperti ketentuan, sarapan pagi disediakan dari pukul 6 sampai 10 pagi saja. Permisi, Pak.”
Bejo paham peraturan itu, tapi dia sama sekali lupa karena bangun kesiangan, itu pun juga gara-gara pintunya diketok petugas.
Bejo membanting-banting guling yang tadi sempat dipeluk-peluknya karena merasa sedang memeluk semua sobat Compasiana yang merayakan peluncuran Compasihani sebagai cadangan blog "padat karya" yang dianggapnya kumatan compang-campingnya itu.
‘Huh! Untung saja bedol deso ke Compasihani itu hanya mimpi. Soalnya setelah dipikir mendalam sampai baper, hitung-hitungan untung rugi nulis di blog kok hasil akhirnya tetap lebih untung kalau jadi warga Compasiana. Untung nggak untung, deh! Kalau untung, dalam hal apa ya? Hmm, kuceritakan ke pembaca nggak, ya? Mau tahu apa mau tahu banget? Yeee, serius sekali bacanya,’ Bejo cengengesan sendiri seperti orang sedang anget.
*) Tulisan ini sungguh dimaksudkan untuk melatih jari mengetik dan menulis bebas alias free writing. Pas lagi mengetik cepat, malah tersandung tulisannya Mas Anhuz. Maka hasilnya jadi begini, sebuah percobaan menulis cerpen humor. Bila ternyata kurang lucu, mohon maaf dari lubuk hati yang terdalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H