[caption caption="Life in the fulest | Foto: Indria Salim"][/caption]Saya sedang mengarsipkan koleksi tulisan saya yang terserak di beberapa blog berbeda, selain di Kompasiana. Ada yang sebagian merupakan back up dari tulisan saya di Kompasiana, dan tulisan lainnya.
Saya ingin memilah-milah sesuai kategori dan genre yang sama. Di Kompasiana artikel saya tidak fokus pada bidang atau topik tertentu. Kadang saya menulis artikel fitur, edukatif, masalah sosial, politik, gaya hidup, kepenulisan dan literatur, kuliner, bahkan humor ringan.
January 2016 pekerjaan yang seharusnya sudah saya bereskan tahun lalu. Sekarang sudah menginjak bulan ke-tiga tahun 2016. Beberapa blog pribadi yang semula sempat saya rombak, akhirnya kembali terbengkalai. Bukan sebuah pengalaman inspiratif yang layak dibagikan di sini. Memang bukan itu inti tulisan kali ini. Yang jelas, menunda melakukan pengkinian (update) blog selalu disebabkan oleh masalah yang sama, bahwa saya lupa password dan alamat persis blog sendiri. Keren, kan?
Minggu lalu saya dihubungi seorang klien (panggil saja Pak Amir), yang naskahnya saya terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Itu proyek kecil-kecilan yang saya selesaikan akhir Januari yang lalu. Naskahnya tidak banyak, hanya enam bab saja – masing-masing bab berisi sekitar 5-10 halaman.
Saat pekerjaan selesai, saya sampaikan kepada Pak Amir bahwa naskah aslinya yang versi bahasa Indonesia seharusnya disunting lebih dahulu sebelum diterjemahkan ke bahasa lain. Banyak detil catatan yang saya sampaikan kepadanya. Tampaknya catatan tersebut tidak terlalu mendapat perhatian dari yang bersangkutan. Bagi saya ini sebuah pengalaman berharga menghadapi klien seperti itu.
Minggu lalu, klien ini meminta saya menyunting naskahnya yang berbahasa Indonesia, lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Klien mengakui bahwa naskahnya telah diperlihatkan kepada teman-temannya, dan mendapat umpan balik kalau tulisannya sulit dipahami.
Saya mendapat jalan untuk mengingatkan kembali masukan saya kepadanya. Kali ini Pak Amir menyerahkan sepenuhnya keleluasaan penyuntingan kepada saya. Tentu ini sebuah tanggung jawab, namun sekaligus kepercayaan yang menantang profesionalisme tinggi.
Lalu komunikasi menjadi semakin lancar dan terbuka. Sampai tahap ini, diskusi saya batasi pada proses penyuntingan lebih dahulu. Itu saja saya antisipasi bakal memerlukan komunikasi yang bolak-balik, demi hasil pekerjaan sesuai harapan kedua belah pihak, dengan mempertimbangkan tujuan utama naskah, yaitu untuk diterbitkan dan berterima bagi pembaca.
Pak Amir seorang pensiunan dosen. Secara tidak langsung saya tertantang dan terinpirasi oleh keuletan dan produktivitasnya menulis. Beberapa bukunya yang sudah terbit mencakup beragam tema, antara lain bidang kesehatan dan manajemen. Olah raga dan menulis itu hobinya. Usianya mungkin di atas 70 tahun. Mendengarkan kejujurannya tentang kelemahan proses penulisan, saya tergerak untuk menengok arsip tulisan lama. Tanpa sengaja saya malah menemukan artikel yang saya tulis karena terinspirasi oleh sebuah blog sahabat yang sekarang sudah meninggal dunia karena kanker.
Sebelum ini, saya pernah mencari blognya dan tidak bisa mengaksesnya. Entah bagaimana, kini saya bisa membuka dan membaca kembali tulisan-tulisan sahabat yang sangat menyentuh dan menggugah semangat hidup. Saya baca artikelnya yang ternyata menjadi tulisannya yang terakhir, hanya satu bulan sebelum kepergiannya untuk selamanya. Mengharukan itu bila tulisan sahabat tersebut mendapat banyak komentar, sementara sebagian dari pemberi komentar tidak tahu kalau yang bersangkutan sudah meninggal.
Mungkin inilah yang namanya ironi kehidupan, seorang pembaca blog sahabat tersebut menyatakan tersentuh oleh kisah dan penderitaan pasien kanker, dan bertanya penuh harap kalau sahabat saya yang bisa dikatakan sedang “sekarat” itu bisa memberikan rujukan alamat milis atau forum tentang jenis kanker tertentu.
Antara geli dan sedih, saya menduga kalau pembaca ini memang agak “berbeda”. Mengapa dia sendiri tidak mencari rujukan dari orang yang sehat, mengingat penulis blog tersebut justru sedang mengisahkan sulitnya mendapat jadwal operasi dan kemoterapi di saat-saat sakitnya sedang memuncak. Sebagian besar pembaca memang selain membesarkan hati pasien yang notabene penulis blog, juga memberi beberapa saran atau rujukan bermacam-macam alternatif berobat.
Lalu apa hubungannya Pak Amir dengan kisah pasien kanker ini? Mereka adalah orang-orang yang tanpa mereka sadari menginspirasi saya. Mereka menggunakan waktu yang ada secara produktif dan bermanfaat untuk dibagikan kepada orang lain. Mereka orang-orang yang cerdas dan suka membagi ilmu, gigih, berkomitmen, penuh integritas, dan selalu berusaha bersyukur. Itu yang saya tangkap dari tulisan-tulisan mereka.
Ini mengingatkan saya pada sebuah kutipan oleh H. Jackson Brown, Jr., “The best preparation for tomorrow is doing your best today,” – bahwa kita persiapkan hari esok dengan melakukan hal sebaik-baiknya hari ini.
Salam. | @IndriaSalim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H