Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bersyukur Cara Kompasianer

26 Januari 2016   13:04 Diperbarui: 28 Januari 2016   22:38 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto dari kiri (kebetulan kami bertiga K-ers): Indria Salim, Arimbi Bimoseno, Ezki Suyanto (koordinator acara), dan Ety Budiharjo (ujung kanan)
[caption caption="Bersama K-ers di kantor Menkopolhukam | Foto: Indria Salim"][/caption]

Menulis di Kompasiana, apalagi kalau agak rajin posting – kita bisa mengaku sebagai Kompasianer. Mengaku, atau diakui nah itu persoalan lain. Yang jelas, dengan mengenalkan diri, “Saya penulis di Kompasiana”, maka berada di lingkungan apa pun akan menjadi mudah. Juga dalam berbincang dengan nara sumber di lapangan.

Kompasianer punya kelengkapan atau sarana menulis yang beragam. Ada  yang modalnya satu telepon genggam, BB, laptop, Ipad, tablet, atau secarik kertas dan pena. Ada yang punya segalanya, internet broadband berkecepatan tinggi (3 MBps ke atas), atau kabel modem tertentu yang terbatas kuotanya, buku atau bahan referensi, pengalaman dan pengetahuan dari diri sendiri, dsb.
Pembaca tidak akan melihat itu semua. Pembaca hanya menikmati hasilnya, atau mengeritik postingan yang tidak berkenan di hati atau pikirannya. Pembaca bisa sependapat, atau merasa pernah mengalami apa yang ditulis oleh Kompasianer, pembaca – baik sesama Kompasianer atau pun bukan, bisa sangat berkenan dengan postingan di Kompasiana. Kompasianer punya banyak kemungkinan apresiasi atas tulisan yang diunggahnya.

Bila "kripik pedas" dilemparkan, Kompasianer sejati akan menangkapnya sebagai motivasi menulis lebih baik. Selain itu, rambut sama hitam, selera dan gagasan tak selalu bisa persis sama. Maka kripik pedas akan terasa renyah dan membuat mata melek, dan Kompasianer akan menulis lebih pedas dari kripik pedas yang diterimanya --- lebih pedas namun mencerdaskan.
Kita sudah menyaksikan beberapa penulis yang menyerah akibat kepedasan kripik yang dilontarkan pihak lain.
Ini khususnya terjadi bila penulis dianggap tidak mampu menuangkan gagasan sesuai kanal yang dipilihnya, atau melenceng dari judul yang ditampilkannya, ada juga karena satu hal dan lainnya. Memang, kripik ada yang bermerek, bermutu meski tanpa merek, pedas tapi mencerdaskan, meskipun ada yang sekadar pedas tapi bikin perut yang tidak kuat -- mengalami diare berkepanjangan, bahkan sampai pingsan akut.

Diakui atau tidak, adalah wajar bila Kompasianer butuh aktualisasi diri, antara lain dengan mengupayakan tulisannya menjadi pajangan yang sedemikian rupa hingga menarik banyak pembaca, pengirim vote, mendapat banyak komentar interaktif, dan hadiah kapling istimewa bernama: Terpopuler, Nilai tertinggi (NT), Trend di Google, Gress, Highlight (Hlt), Headline (HL), dan Artikel Pilihan.

Walau begitu, selain beragam bentuk penghargaan atau pengakuan dan pengenalan yang diterima Kompasianer secara terukur dan konkrit atau nyata, ada banyak faktor lain yang membuat Kompasianer tetap menulis, berbagi, mengungkapkan isi kepala, menyuarakan pendapat dan saran melalui postingannya.
Di balik semua standar ukuran formal, atau pengakuan eksplisit maupun implisit – Kompasianer akan terus menulis, bila dirasa itu membawa manfaat bagi dirinya atau orang lain.
Warna kehidupan tidak selalu dalam dikotomi kutub perbedaan, atau nuansa persamaan. Kompasianer menyadari bahwa menulis adalah keberanian menaklukkan kendala dari dalam diri sendiri.

Komentar, atau umpan balik dari dan untuk sesama Kompasianer akan menjadi bagian dari proses pembelajaran dalam kampus kehidupan, tidak saja di planet Kompasiana, namun di jagad kehidupan yang lebih luas. Hebat menurut ukuran Kompasianer, mungkin sebuah usaha kecil tak dikenal di lingkungan di luar Kompasiana.
Bila kita merasa tak pernah diapresiasi oleh sesama Kompasianer, atau nihil tanggapan langsung dari pembaca itu belum tentu karena tulisan kita tidak layak baca. Prinsip yang perlu kita ingat, kebaikan yang kita lakukan akan kembali pada diri sendiri. Pun bila itu sebaliknya.

Jujur pada diri sendiri, bersikap terbuka dalam menerima masukan, berpikir positif dalam setiap hambatan menulis, tidak mudah patah semangat, namun juga mengenali keterbatasan diri secara proporsional – itu prinsip Kompasianer (baca: penulis sendiri) dalam berkarya dan berkegiatan.
Kompasiana, Kompasianer, Pengelola Kompasiana, pembaca, dan korporat (Kompas) --- semua punya peran dan kontribusi masing-masing. Saling menghargai, saling mendukung sesuai kapasitas dan kemampuan diri, belajar dari satu sama lain, dan saling mengingatkan dengan dasar niat baik, semua berjalan dan mengalir seperti air -- alami, dan berkelanjutan. Semoga.

Salam Kompasiana. | Indria Salim

*) kripik pedas = kritik pedas
*) kripik itu sebenarnya bagian dari apresiasi. Kalau kemasannya mirip lemparan bakiak atau telur busuk, bisa diwaspadai itu sejatinya adalah ketidak sukaan yang berlabel kripik -- kripik KW alias "kripik-kripikan". 
*) Mereka yang mundur dari Kompasiana TIDAK selalu disebabkan karena kebanyakan makan kripik pedas, atau kripik KW.
*) Tulisan ini sebenarnya adalah refleksi diri, ditulis spontan karena merasakan syukur atas hal sederhana yang non-material.
*) Foto bersama blogger (kebetulan penulis mengajak Kompasianers) dalam acara "Bincang dengan Menkopolhukam tentang Bahaya Rekrutmen ISIS melalui Media Sosial", pertengahan Desember 2015

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun