Hidup itu ibarat minum kopi, karena saya suka kopi. Pun begitu suka duka saya menulis di Kompasiana. Kok bisa?
Menulis di Kompasiana sambil ngopi, kadang manisnya minta ampun. Lain kali, pahit banget rasanya. Pahit itu kadang justru yang dicari, karena pahitnya kopi bisa jadi pertanda khasiatnya teruji --- membuka mata, membuka wawasan, menyadarkan kekeliruan yang kita lakukan --- ya di Kompasiana.
Pengalaman manis itu kalau nulisnya sedikit, yang ngevote banyak dan manis-manis. Pun angka indikator yang baca, hitnya sampai 4 digit, misalnya empat ribu lebih, atau belasan ribu. Kejadian pahit, itu bila tulisan yang pernah dibaca puluhan ribu orang, dan sampai saya lupa kapan menulisnya angka hit terus bertambah. Sayangnya lagi pas mau didokumentasikan untuk persembahan kepada diri sendiri, oh ternyata artikel itu itu tidak terbawa di Kompasiana wajah baru Pasca Migrasi Juni-Oktober 2015.
Memang setelah K lama dimigrasi ke K baru, beberapa tulisan saya tidak terlacak lagi, padahal belum sempat saya dokumentasikan di arsip pribadi. Tetapi hidup seorang penyuka kopi tak akan berhenti hanya karena tulisan kebanggaan tak bisa ditemukan di daftar artikel yang ada di halaman profile Kompasianer.
[SuDuk] begitu yang saya baca di kolom “Tulisan Baru” Kompasiana sejak kemarin (Jumat, 23 Januari). 'Ini singkatan apa istilah ya, kedengarannya tidak indah sama sekali,' batin saya. Kalau Nasi Uduk, itu baru menarik. Maklum, selain suka minum kopi, saya juga suka sarapan nasi uduk. Nggak percaya? Ada salah satu artikel saya memuat foto jepretan sendiri untuk mengenang jasa Nasi Uduk dalam hidup seorang Kompasianer seperti saya.
Andaikata saya ditanya Kang Pepih – sang Pemimpin Jagad Kompasiana ini, sebagai Kompasianer apakah saya lebih banyak mengalami duka, atau suka? Jujur, jawaban saya pasti sangat subyektif. Saya tidak mampu menampilkan data pendukung atas jawaban saya – mengapa lebih banyak sukanya, atau dukanya. Saat sedang menulis ini, saya sambil mikir keras, ‘hmm, sejujurnya gimana sih nulis, berbagi, dan berinteraksi di Kompasiana itu sependek pengalaman saya?”
Baiklah, saya mencoba mengingat rincian kasar daftar suka duka menulis di Kompasiana, yang saya ikuti sejak bulan Januari 2013. Lagian, siapakah saya sampai membuat Kang Pepih memberi perhatian khusus untuk menanyakan suka duka saya sebagai Kompasianer. Kompasiana kan keren beken, anggotanya ratusan ribu dan tersebar di seantero dunia. Sudahlah, percaya saja itu fakta.
Artikel-artikel Kompasiana menjadi rujukan dan daya tarik tersendiri --- di mata para pembaca dan netizen dari beragam latar belakang pendidikan, strata sosial, profesi, usia, minat, dan budaya. Politisi, pedagang, seniman, pemenang dan pecundang membaca Kompasiana dan mengikuti tulisan-tulisan tertentu sesuai preferensi mereka.
Suka Duka Selama Menulis di Kompasiana – maaf, sub-judulnya pengulangan dari judul utama.
Pernah kejadian, sudah menulis panjang-panjang hasil berjam-jam melakukan riset sana-sini. Begitu diposting, yang baca sedikit, yang ngevote tidak ada, apalagi yang menyumbang komentar. Istilah kerennya, tulisan saya ini kategori: Aktual Fakir Pembaca. Walaupun begitu, saya meyakini bahwa menulis itu memberi banyak manfaat, setidaknya untuk diri sendiri. Menulis bisa menjadi terapi jiwa terluka, pikiran terbeban, mengasah cara berlogika, mencegah pikun, atau membiasakan diri praktik berbahasa. Tanpa disadari, kelak kita akan memetik buah ketekunan menulis. Tentu, itu terkecuali untuk tulisan fitnah atau dusta. Duh amit-amit, jangan sampai ya.
Pas ingin menulis karena merasa ada yang perlu disampaikan pada pembaca, begitu buka Kompasiana saya malah tersesat dalam puluhan artikel menarik. Lantas niat awal teralihkan karena sibuk ngevote dan berkomentar sana sini. Padahal internet sedang lemot, dan Kompasiana agak error. Konyolnya, kondisi error-nya Kompasiana tidak disadari, karena sempat punya bawaan curiga pada kecepatan internet langganan yang sudah lama dan agak sering … error juga. Akhirnya saya lupa dengan ide yang mau ditulis, dan terlanjur capek dan kelamaan nangkring maya di Kompasiana. Urunglah niat menulis. Silly, begitu kata gaulnya. Tapi tulisan curcol soal pengalaman tersesat dalam artikel K-er ini ada kok – “Kompasianer Galau: Pilih Baca Apa Posting Dulu?” http://www.kompasiana.com/indriasalim/kompasianer-galau-pilih-baca-apa-posting-dulu_552fc0b86ea834672e8b457f
Nyeseg itu bila di K sedang ada acara nangkring yang sangat menarik, tetapi saya tidak bisa ikut karena kerjaan utama tidak bisa ditinggalkan. Atau, karena untuk ikut sebagai peserta, Kompasianer harus mengambil lebih dulu mengambil undangannya di Gedung Kompas yang lokasinya lumayan jauh dari rumah. Ini mungkin yang disebut lokasinya jauh-jauh dekat, dekat tapi jauh. Jauhan mana lokasi Kompasiana dari Tangerang, dibanding dengan rumah K-er Bang Dosmand (Makassar), Mas Bain S (Yogya), Elde (Jerman), Mbak Indira Revi (di Filipina), Mas Hery Sofyan (Borneo), Weedy Koshino (Jepang), Pak Tjiptadinata (Australia), Usi Sabakota (Amerika), Gatot Dwandito (Cirebon), mbak Niken (Solo), banyak lah pokoknya. Yang disebut ini hanya contoh dari banyak K-er yang tinggal tersebar di seluruh dunia.