Salah seorang anggota MKD ada yang agak berbeda, dan bahkan memprotes sidang. Itu menurut penulis. Ini dalam kaitannya dengan sidang yang seharusnya untuk menegakkan kehormatan DPR. Hakim ini mengusulkan agar sidang tidak hanya melihat rekaman secara harafiah dan itu dianggapnya tidak menyentuh substransi dan “makna” peristiwa yang diadukan. Dia menghubungkan subyek pengaduan dengan penjelasan yang disampaikan oleh MS, mekipun yang disampaikan oleh MS ridak ternyatakan persis bunyinya secara harafiah dalam rekaman. Menurutnya, sidang saat itu lebih mengutamakan kebenaran ‘kalimat dan kata harafiah, alih-alih mendalaminya dari perspektif makna substantif’. Salut saya untuk hakim yang satu ini.
[caption caption="Hakim yang mengusulkan agar sidang tidak menyederhanakan pendekatan 'penyelidikannya', dan sebaliknya agar lebih fokus pada 'pemaknaan'. | Dok. Indria Salim"]
Hakim itu kurang lebihnya mengatakan, “Kalau didengar dari rekamannya, frase “minta saham” ya memang tidak ada yang berbunyi persis begitu. Tapi sidang seharusnya tidak menyelidiki hal ini dangan cara simplifikasi.”
Kalau mau jujur, mungkin para Yang Mulia tahu bahwa yang mereka gelar itu adalah sebuah sidang yang sebenarnya subjek dan objek hukumnya sudah amat jelas --- saksi MS mengakui dia yang merekam, pun juga SS yang mengkonfirmasikan pelaporannya (baca: sebagai “pengadu”, dan NS yang mengakui suara dalam rekaman yang dijadikan bahasan sidang.
Fakta yang pemirsa saksikan pada sidang itu, bahwa sebagian – sekali lagi, sebagian hakim seakan berpihak dan melindungi SN. Ini menimbulkan kejadian tidak lucu, tapi wagu. Ada hakim yang meminta penjelasan saksi MS tentang satu pernyataan yang diucapkan oleh SN. SN dengan serius mencermati pertanyaan dan mengingat frase yang ditanyakan oleh sang hakim. Lalu jawabnya, “Saya tidak tahu dan kurang jelas, mohon hal itu ditanyakan kepada Pak SN langsung.”
Lha, yang ngomong SN kok yang disuruh menjelaskan bukan pemilik ucapan itu sendiri tetapi MS.
Sportivitas dan Kejujuran
SN mangkir dari sebuah acara resmi yang dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), MR belum menunjukkan batang hidungnya di persidangan MKD (3/XII), namun sebaliknya Presiden Jokowi serta merta mengIzinkan MenKoPolHuKam Luhut Binsar Panjaitan (LP) diperiksa MKD dalam upaya membuat permasalahan menjadi jelas dan terbuka bagi semua pihak. Hal ini terkait dengan adanya penyebutan berkali-kali nama LP dalam rekaman tentang SN. Sementara itu, hingga kini Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang menyelidiki rekaman pembicaraan dari telepon genggam MS. Penyelidikan ini dimaksudkan untuk verifikasi kebenaran rekaman.
[caption caption="Ketua MKD yang memberi 'kata akhir' jelang ketok palu, dan mengatakan bahwa semua yang perlu diketahui sudah ditanyakan oleh para anggota hakim. |Dok.: Indria Salim"]
Namanya MKD (K = kehormatan). Hakimnya disebut Yang Mulia. Lembaganya adalah lembaga tinggi negara, mewakili pemegang supremasi kedaulatan rakyat. Tapi memanggil seorang pengusaha (yang dari sidang sekarang terindikasi sebagai insiator pertemuan yang dipermasalahkan sekarang) saja tidak becus. Atau, panggilan oleh MKD tidak digubris oleh si pengusaha yang kebetulan kolega Sang Ketua SN).
Ada kerancuan di sini. Yang menjadi subyek penyelidikan adalah ketua lembaga tinggi itu sendiri. Lantas lembaganya (baca: MKD) memanggil pengadu (SS) dan saksi (SS dan MR). Saksi yang hadir baru MS. Kenapa MR tidak datang? Kok MR tampak lebih berkuasa daripada lembaga tinggi negara, ya? Dalam kesaksiannya, MS mengatakan bahwa pertemuan "biasa" (versi hakim MKD) -- dan "biasa" (versi MS artinya tidak formal) itu diprakarsai justru oleh MR. Dari sinilah hakim menyempitkan pertanyaannya sedemikan rupa hingga MS menjawab kira-kira begini 'Kalau tidak ada SN, saya tidak menanggapi undangan itu'. Nah, sebagai pemirsa, penulis bertanya-tanya --- maksud hakim ini apa ya?
Oh, itu karena DPR kan mewakili rakyat. Sedangkan MR adalah rakyat. Nah nyambung, kan?