[caption caption="Bapak, buah ranum di masa terindah yang dipetik oleh Sang Maha Pencipta | Foto: Indria Salim"][/caption]Pengalamanku bersama Bapak itu ada yang konyol, spiritual, dan romantis. Di suatu sore, hanya aku berdua jalan-jalan bersama Bapak. Tak banyak ngobrol, karena Bapak pendiam. Tapi kami saling memahami isi pikiran masing-masing. Walaupun tidak pernah dianjurkan secara eksplisit, aku mulai suka dan belajar membaca segala buku untuk segala usia ya karena Bapak, yang mengoleksi beragam buku di "dressoir" (rak/ semacam lemari berkaca yang nyambung dengan dipan). Isinya? Ada Baghavad Gita, Injil, Al Quran, buku pedagogi, buku perkembangan jiwa anak, kamus bergambar buat anak terbitan LN, buku berisi lagu-lagu tembang bocah, buku cerita bergambar "Wise Robbin", dan ada juga buku primbon.
Aku belajar makan nasi hanya dengan lauk cenggereng kacang (peyek kacang) karena sedang menjaga adik di RS, dan di situ jauh dari kantin. Aku jadi suka bercocok tanam karena di rumah lama dulu, halaman kami yang agak luas penuh dengan pohon buah yang ditanam sendiri oleh Bapak. Ada saja yang dipanen, dan karena berlimpah -- tetangga juga merasakan berkah makan buah. Ada sawo, pisang beragam jenis, tebu (eh ini bukan buah ya), pepaya, nangka, jambu, ada juga pohon cengkeh yang daunnya buat penyedap sayur sop.
Saat usiaku sweet seventeen sementara adik bungsu berusia 3 tahun, Bapak meninggal muda --- usia 44 tahun. Kata dokter, Bapak kecapekan setelah kurang istirahat dalam hari-hari panjang dedikasi dan kesibukannya di kantor, di lingkungan tetangga, dan di rumah. Dunia “kami” berguncang, hidupku nyaris kosong. Lalu aku dan Ibuk bahu membahu, saling menopang agar tidak jatuh dari guncangan hidup kami.
Bapak berpesan, "Anak-anak harus menyelesaikan pendidikan setinggi mungkin." Dan sejak itu, Ibuk menjadi orang tua tunggal, yang mendapatkan kekuatan karena membawa amanat dari Bapak -- "membesarkan dan mengawal anak-anak (termasuk aku), agar menjadi orang dewasa yang mandiri dan ora neko-neko," begitu kata Ibuk.
Dari kesetiaan dan semangat pantang menyerah Ibuk mengantar kami hingga menjadi orang dewasa mandiri, aku tahu betapa besar cinta Bapak kepadanya.
Dari iring-iringan mobil dan pelawat yang mengular di hari wafat Bapak, kami merasakan kepedulian almarhum pada banyak orang yang membutuhkan perannya dalam berbagai kapasitas --- sebagai “tukang obat amatiran”; “juru pijat penyembuh pribadi”; konsultan masalah keluarga dan pribadi (bagi mahasiswa dan kolega Bapak); dan sebagai guru dan teman berbincang bagi para pemuda kampung di sekitar rumah kami.
Bapak adalah “figur pengawas tanpa harus hadir di tengah kami” ketika anak-anak yang tidak mematuhi nasihat Ibuk di rumah; dan sosok pelindung yang membuat kami anak-anaknya merasa aman dan tenang setiap kali Bapak pulang dari dinas luar kota berhari-hari.
Kami percaya, Bapak bahagia dan tenang di sisi-Nya. Amin. | Indria Salim 151112
*Mengenang Bapak di Hari Ayah*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H