Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tanda Baca yang Benar Bisa Menyelamatkan Kakek

18 Oktober 2015   19:04 Diperbarui: 19 Oktober 2015   10:49 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption=""Yuk kita makan kakek" atau "Yuk kita makan, Kek." |Foto: www.blendspace.com"][/caption]

Sebagai seorang pekerja yang "nguplek-uplek" dan bergulat dengan kompleksitas bahasa (Indonesia atau pun bahasa asing), saya ingin berbagi pendapat tentang   anggapan kurang tepat, yang mengatakan bahwa menulis di blog sebagai "sekadar orang awam yang pokoknya menulis" -- dan lalu mengkritik penulis lain yang mengajak orang mengikuti EYD. Saya tidak memungkiri bahwa pernyataan seperti berikut ini sah-sah saja, "... nulis ya nulis, ngapain diatur-atur toh kami bukan wartawan, atau blah blah blah".

Bahasa memang dinamis dan tidak harus digunakan secara kaku. Namun, bahasa mengenal fungsi dan konteks. Bahasa juga perlu dirawat, dilestarikan, dan diperkuat identitasnya, karena bahasa menunjukkan kepribadian dan cara berpikir kita. Banyak lagi yang bisa diungkapkan tentang bagaimana bahasa dan perannya dalam arti luas dan sempit. Bahasa sebagai "lingua franca" bersifat terbuka, sekaligus menjadi simbol kekuatan suatu bangsa. Bangsa yang lemah dan masyarakatnya tidak menghargai sejarah, besar kemungkinan berisiko menyaksikan kepunahan bahasanya sendiri, padahal itu bagian dari akar budaya dan identitas diri.

Fenomena yang saya sebutkan diatas, dinyatakan oleh orang dewasa yang sepantasnya perlu memberi contoh yang baik buat anak mereka agar kelak menjadi pengguna bahasa (sendiri) yang baik dan cerdas. Ini penting untuk membangun kebanggaan nasional dari hal yang paling mendasar.

Setiap individu memang berhak menulis apa saja sesuka hati, namun kita perlu menyadari bahwa kecuali menulis jurnal harian buat diri sendiri, ada situasi ketika seseorang dituntut bisa memenuhi kriteria standar minimum yang lazim diterapkan dalam berbagai bidang pekerjaan, termasuk menulis untuk khalayak ramai.

Bila “tinggal memakai" saja mengabaikan aturan yang benar, dan sebaliknya bersikap reaktif negatif terhadap orang yang mengajak bergiat menulis dengan baik dan benar sesuai EYD, maka akan tiba saatnya ketika banyak warga masyarakat tidak mampu menulis dengan bahasanya sendiri.
Ini serupa dengan orang yang ingin cepat bisa menulis dalam bahasa asing tanpa kemauan mempelajari tatabahasanya, "Yang penting komunikatif," kata mereka.

Bagi saya pribadi, mempraktikkan bahasa (baik bahasa ibu, bahasa nasional, maupun bahasa asing) itu ibarat menggali sumur di tengah samudra luas. Semakin banyak menggelutinya, semakin membuat saya menyadari kekurangan yang harus diisi dengan ‘belajar’ lebih banyak dan serius, dan menerapkannya dalam berbagai kesempatan. Kita bisa juga memerhatikan tulisan-tulisan yang secara umum (baca: obyektif) terbukti bermutu.

Percaya diri (menulis cara suka-suka), sambil menyemangati debutan awam agar berani menulis itu bagus dan tidak dilarang. Tetapi jangan sampai kita menjadi reakltif negatif jika ada yang menuliskan motivasi agar kita berkarya lebih baik, antara lain dengan menyerap tips yang relevan, dan mengikuti kaidah tata bahasa dan EYD.

Satu catatan, saya beruntung berada di lingkungan praktisi bahasa yang sangat bertanggung jawab dan intens mengusahakan “kesempurnaan berbahasa” karena tuntutan profesionalisme (sebagai penerjemah, penyunting, penyelaras kata, dan penulis). Sayangnya saya masih sering mendengar dan melihat sebagian orang "meremehkan" kehati-hatian tata penulisan, karena terlalu mendewakan gagasan menulis kreatif. Selain itu ada persepsi sebagian orang bahwa menulis dengan baik dan benar itu disalah pahami sebagai menulis dengan gaya formal, baku, kaku, dan membosankan.

Dari pengalaman keseharian, saya semakin terkesan dengan peran penyunting (editor). Disadari atau tidak, diapresiasi atau tidak --- penyunting dalam melakukan tugasnya cenderung punya naluri dan kesadaran akan tanggung jawab profesi & moral untuk menampilkan karya tulisan yang sebisa mungkin minim cela. Saya pernah menjumpai tulisan "seorang penulis yang bukunya sudah banyak diterbitkan" menunjukkan kesalahan dasar tata bahasa dan EYD-nya, juga kekacauan pengorganisasian paragrafnya yang tidak lebih sedikit dibandingkan dengan tulisan orang awam (penulis pemula). Di situ saya melihat rahasia di balik kesuksesannya --- Sang Editor!

Salam Kompasiana. | @IndriaSalim

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun