Suatu hari saya mendapatkan pesan di inboks Kompasiana. Judul pesannya menggelitik: Hadiah! Saya agak heran, kok ada pemberitahuan tentang hadiah bukan dari Pengelola Kompasiana atau Penerbit Elex Media Komputindo, yang saya harapkan mengkonfirmasikan hadiah lomba resensi buku belum lama ini.
Begitu saya buka isi pesannya, ternyata sebuah stiker bergambar foto saya sendiri . Seketika saya nyengir dan berpikir, Â "ada-ada saja 'keusilan kecil' kawan Kompasianer ini. Saya menganggap hal ini sebagai guyonan positip. Saya apresiasi saja selera humornya, karena saya tidak melihat ada maksud tersembunyi yang perlu dicurigai. Tidak ada udang di balik rempeyek, saya pastikan itu. Dan dengan berjalannya waktu, memang itu sekadar bagian dari seni berkawan dan persahabatan di Kompasianer ini.
Kembali soal foto yang dibuat dalam stiker lucu itu. Ketika melihat pertama kalinya, untuk sejenak saya berkerut. Saya merasa tidak pernah memposting tulisan di Kompasiana dengan foto itu. Itu sebuah foto lama bergaya standar pas foto, dan cenderung agak formal. Lalu saya putuskan untuk melupakan rasa penasaran saya tentang asal-usul kawan saya itu mendapatan pasfoto itu. Memang sedikit penasaran, karena kawan saya itu hanya kenal di Kompasiana, namun bukan teman facebook saya. *Saya memang banyak mengunggah foto kegiatan di facebook*
Sampai di lain waktu, anak-anak di rumah gaduh menertawai saya. Mereka kegirangan mendapatkan hasil temuan mereka saat sedang belajar mencari data di internet. Dengan bangga anak-anak menunjukkan beberapa foto saya yang muncul di layar BB mereka, setelah mereka mengetikkan nama saya di mesin pencari yang kita kenal: google[dot]com.
Saya ikut terbahak dengan anak-anak yang juga usil itu. Wah saya jadi penasaran. Lalu saya meng- google nama sendiri dengan berbagai nama pena yang ada. Lumayan ada dua-tiga halaman pertama yang memuat data tentang saya. Mendadak saya serasa sedang membuat foto selfie, hanya saja bentuknya tautan (link) di internet.
Hari ini, saya mendapatkan beberapa permintaan pertemanan yang berasal dari Goodreads. Lalu saya buka tautan (link) Goodreads. Ternyata mereka tahu nama saya dari jejak-jejak komentar yang saya sendiri sudah lupa kapan saya menuliskannya di website tentang buku, pembaca dan penulis buku itu.
Hal ini mengingatkan saya pada acara Kompasiana Nangkring dan visitdi kantor Google yang saya ikuti di bulan Februari yang lalu. Pada pertemuan itu, kami sempat berbincang, dan mendengarkan penjelasan oleh mBak Eunika Kartini (mbak Keke) sebagai Manager Google Indonesia, bagaimana fitur yang ada di G+ itu mendukung sekali kegiatan blogging kita. Selain beberapa manfaat yang ada, salah satunya adalah sebagai fasilitas yang bisa menaikkan traffic blog sekaligus sarana personal branding kita. Dalam penjelasan oleh mBak Keke itu, saya menjadi tahu sedikit bahwa mengunggah gambar (foto) dalam tulisan kita juga menambah probabilitas ditemukannya ikhwal (profil) kita dalam mesin pencari Google (Searching Engines Optimization).
Sebagai blogger atau orang yang ingin mengembangkan kegiatan yang membutuhkan pengenalan yang lebih luas tentang usaha atau diri kita, maka kita perlu mempelajari tips memanfaatkan G+ ini. Namun untuk saat ini, saya hanya inginn menekankan bahwa sadar atau tidak, orang bisa mengetahui tulisan atau kegiatan kita melalui jejak-jejak yang kita tinggalkan dan tersimpan serta terpapar dengan cerdas oleh mesin pencari Google. Saya tidak tahu bagaimana kecanggihan mesin pencari lain seperti Yahoo Search, Bing, Aol Search, Ask, dan sebagainya.
Maka tidak heran kalau seseorang yang sedang giat melakukan promosi (= kampanye) dalam upaya merintis karier sebagai caleg, kemudian kalang kabut gara-gara pihak pesaing atau khalayak yang kurang suka dengan sang caleg, menemukan "jejak abu-abu" sebagai hasil temuan data dari mesin pencari Google. Saya yakin, kita paham apa yang saya maksud di sini. Ada wawancara seorang caleg di acara Mata Najwa, lalu tidak selang lama kita melihat banyak beredarnya berita lama atau foto-foto kontroversial yang tidak menunjang promosi diri sang caleg itu (foto artis berpose super seksi, pernyataan tokoh politik yang meremehkan korban banjir, dan banyak contoh serupa lainnya).
Demikianlah, maka kita perlu berhati-hati dalam menulis atau kita unggah di internet, karena apa yang sudah kita tulis atau unggah di internet, tidak selalu sederhana untuk "menghapusnya". Bahkan sekadar komunikasi dalam kelompok pemakai aplikasi WhatsApp misalnya, Â kawan-kawan komunitas saya kadang mengalami kejadian lucu. Ada yang salah mengirim pesan (pesan nyasar), meskipun pengirim sudah menghapusnya dari gawai (baca: gadget) yang bersangkutan, kami sebagai penerima masih bisa terus melihat pesan nyasar dari gawai masing-masing. Maka bisa dibayangkan kalau itu tulisan di media massa atau sebuah buku yang terbit dan beredar secara meluas.
Salam Kompasiana
@IndriaSalim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H