Matanya yang bulat itu kembali menyapaku hari ini, dan mau-tidak-mau ikut menarik memoriku ke dalam rak-rak kenangan seperti halnya Pensieve dalam Harry Potter. Mulutku ingin sekali mengucap mantra-mantra apa saja, asal rak-rak kenangan itu tidak kembali terbongkar. Ternyata untuk sekian kalinya, tetap perasaanku yang menang.
Aku mulai menelusuri jejak A hingga Z pada jajaran rak itu. Aku tertawa renyah ketika membuka satu kenangan bersampul bunga matahari dan dedaunan tropis. Dan mengingat kembali caramu bernyanyi dengan petikan gitar yang membuat getar seluruh badanku. Ah, dan kibasan rambutmu, Sayang. Apakah masih menggoda seperti dulu ?
Aku beranjak dari satu rak, ke rak lainnya. Hingga tibalah aku di abjad terakhir yang kita ukir. Ada satu kenangan bersampul coklat dan tanpa gambar apapun disana. Aku menangis melihatnya, merasa hina, merasa durja, merasa...merasa kurang, merasa sangat tidak cukup untuk membuatnya berwarna. Aku hempaskan kenangan itu ke sudut hati yang lain. Terbakar tanganku seketika. Panas. Sakit. Aku tidak henti-hentinya mengurai air mata hingga tetesannya mampu membuat lubang menganga diwajahku.
Sambil berjalan, aku masih membawa sisa-sisa tetesan air mata ini. Dan langkahku terhenti pada satu rak. Aku tidak tahu masih ada tempat disini. Rak ini kosong, tanpa abjad, tanpa kenangan. Kubiarkan jemari-jemari ini membelai guratan kayu pada rak itu. Memoriku sekali lagi mengajak hangat untuk mengingat garis-garis wajahmu. Halusnya persis seperti kayu pada rak ini. Bersih, jujur, apa adanya.
Aku membuang air mata ku jauh-jauh. Aku berlari, mengambil cat, kuas dan sketsa. Lihat, Sayang..bunga matahari dan dedaunan tropis itu, akan hadir kembali menghiasi kita, pada abjad A hingga Z yang akan terukir pada rak ini. Segera.
Bogor, Februari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H