Mahasiswa adalah calon generasi bangsa, penggerak setiap organisasi, dan penerus cita-cita para pahlawan yang telah gugur. Mahasiswa adalah siswa yang memiliki beban moral tinggi. Akan teapi, alangkah disayangkan bahwasanya Tri Dharma Perguruan Tinggi dan peran mahasiswa sebagai Iron Stock, Agent of Change, dan Social Control selalu didengungkan saat rangkaian OSPEK akan tetapi serasa mati saat mahasiswa telah kuliah seperti biasa. Hanya pada saat budaya “pembulian secara halus” lah para mahasiswa mengagung-agungkan Tri Dharma dan mengkoar-koarkan peran mahasiswa yang mereka emban. Berusaha mati-matian untuk maju dan berkoar-koar di depan para senior agar dikenal dan mendapatkan nilai yang baik. Selebihnya, hanya omong kosong.
Kenyataannya, mahasiswa yang berbicara, berorasi, dan berdemo malah berakhir ricuh. Penulis bertanya-tanya, ini yang salah siapa? Mahasiswa atau oknum-oknum yang berusaha “menyembunyikan bangkai” di balik tubuhnya? Tetapi, tidak pernah ada jawaban pasti akan hal itu. Setiap sumber bisa saja mengaburkan berita demi keuntungan suatu golongan. Mengaburkan berita yang tak benar menjadi benar dan yang benar malah terpinggirkan. Ibarat motor, mahasiswa bisa disebut sebagai bahan bakar. Berdosa dan dzalimlah kita (mahasiswa) jika kita hanya berfoya-foya dalam mengisi kemerdekaan ini. Seperti judul artikel ini, penulis ingin mereka yang membaca mulai membiasakan hal-hal yang mudah dan sederhana jika ingin mengubah bangsa ini. Mahasiswa memang bukan pemegang kekuasaan yang dapat memberikan kebijakan-kebijakan untuk rakyatnya. Akan tetapi, mahasiswa adalah penampung aspirasi rakyat dan penyampai pesan kepada para pemegang kekuasaan di DPR/MPR RI ini. Kita semua sudah mengerti bahwa bukan hal mudah menjadi seorang pemimpin, tetapi sangat mudah untuk menilai seorang pemimpin. Mengatakan pemimpin itu tidak becus, lelet, dan sebagainya. Mahasiswa bukan saatnya lagi hanya menjadi penilai, tetapi sekarang adalah saatnya mahasiswa menjadi eksekutor. Membiasakan hal-hal kecil, seperti : membuang sampah pada tempatnya, membiasakan diskusi, mengikuti organisasi-organisasi yang ada di kampus, dan masih banyak lagi adalah salah satu cara untuk menempa diri mahasiswa demi keberlanjutan cita-cita bangsa.
Hal kecil yang pertama yang dapat dibiasakan adalah membuang sampah pada tempatnya. Membuang sampah pada tempatnya adalah hal kecil dan sederhana, tetapi bukan hal yang mudah. Faktanya, banyak saja yang membuang sampah sembarangan, menggeletakkan kertas sisa mengerjakan tugas dan laporan di gazebo yang sebenarnya digunakan sebagai tempat untuk belajar padahal di sekitarnya ada tong sampah yang seharusnya dijadikan tempat untuk membuang sampah. Bukankah kita semua telah diajari saat kita masih SD, bahwasanya “Membuang sampah tidak pada tempatnya adalah perbuatan tercela”? Lupakah kita akan ajaran kecil semacam itu? Atau kita yang memang sengaja “melupakan” ajaran saat kita SD? Lalu, bagaimanakah tindakan kita untuk membersihkan para koruptor dari negeri ini jika kita tidak membiasakan diri meninggalkan hal tercela, yang contoh kecilnya adalah membuang sampah pada tempatnya? Bukankah para koruptor itu juga merupakan “Sampah Masyarakat” yang menghisap uang rakyat dan wajib “dibersihkan” dari negeri tercinta ini? Maka dari itu, biasakanlah hal yang kecil sedari mungkin.
Setelah kita mengerti faedah dari membuang sampah pada tempatnya, hal kecil yang dapat kita lakukan adalah diskusi. Diskusi adalah hal yang menyenangkan. Diskusi mahasiswa diharapkan bukan lagi membahas melulu tugas kuliah, akan tetapi membahas tentang bagaimana cara untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Diskusi bukan hanya tentang bagaimana mendapat IP cumlaude, karena IP cumlaude bukan satu-satunya alasan perusahaan mau menerima kita sebagai karyawannya. Akan tetapi, kita perlu kritis untuk mendiskusikan hal yang kiranya akan membangun dan memperjelas arah bangsa ini agar jauh lebih baik. Diskusi-diskusi semacam ini yang dirindukan, bukan sekedar diskusi tentang tugas, laporan, dan tugas akademik lainnya. Lewat diskusi inilah, kita nantinya bisa saling bertukar atau jajak pendapat dengan kawan maupun senior kita. Bagaimana langkah kita kedepan sebagai mahasiswa, apakah kita nanti akan membawa Indonesia menjadi negara maju ataukah tetap terpuruk sebagai negara berkembang. Karena menurut penulis, negara berkembang adalah sebutan halus untuk “Negara Miskin”.
Disamping itu, mahasiswa seyogyanya menempa diri dengan mengikuti organisasi-organisasi yang ada di lingkungan kampus. Menjadi bagian dari organisasi disini bukanlah diartikan sebagai bagian dari organisasi tidak jelas dan melanggar hukum, tetapi aktif menjadi bagian dari organisasi yang dapat memberikan pelatihan-pelatihan soft skill, misalnya organisasi tentang pengabdian masyarakat dan kewirausahaan. Mahasiswa seharusnya tidak mempermasalahkan jadwal kuliah mereka yang padat sebagai alasan. Kita mungkin mendapatkan banyak materi kuliah dari perkuliahan, tetapi kita tidak boleh lupa bahwasanya kita memerlukan soft skill yang cukup untuk mampu berkembang di luar sana. Soft skill tidak kita dapatkan di perkuliahan, tetapi kita dapatkan di organisasi. Oleh sebab itulah, kita perlu mengembangkan diri, bukan hanya di saat perkuliahan tetapi juga saat kita berorganisasi.
Dengan belajar di organisasi, sesungguhnya kita juga belajar banyak hal. Semisalnya adalah belajar mengatur waktu, belajar kepemimpinan, dan banyak lainnya. Apalagi saat kita dipercayai untuk menjadi pengurus, misalnya. Sesungguhnya kita (mahasiswa) nantinya akan belajar bagaimana menjadi pemangku kebijakan dan pemberi solusi atas masalah-masalah yang nantinya akan kita hadapi. Bukankah setiap diri manusia adalah pemimpin? Dari organisasilah kita akan belajar “merasakan” bagaimana menjadi pemimpin yang kadang mendapat cibiran, cemoohan, bahkan cacian keji oleh mereka yang tidak senang akan kebijakan yang telah kita buat. Di organisasi pula kita akan belajar mengatur waktu kita yang terbatas. Bagaimana kita menjadi mahasiswa yang tidak hanya senang kuliah dan pulang, tetapi menjadi mahasiswa organisatoris yang doyan “rapat” untuk mengambil sebuah keputusan. Hal yang paling indah adalah saat kita bisa menemukan arti sebuah “keluarga baru” saat kita menjadi anggota sebuah organisasi. Keluarga baru yang dapat menampung keluh-kesah kita yang jauh dari orang tua kita di kampung halaman.
Dari paparan tersebut, penulis mampu menyimpulkan bahwa menjadi generasi penerus memang tidaklah mudah, tetapi kita bisa menjadi pemimpin dan penerus bangsa yang tidak korup, melakukan tindakan tercela, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, mulailah dari sekarang tindakan-tindakan kecil untuk mengubah image mahasiswa itu sendiri, seperti dengan tidak membuang sampah sembarangan, rajin mengikuti diskusi-diskusi yang tidak hanya mencangkup tentang ilmu pengetahuan, dan juga mengikuti kegiatan-kegiatan dari organisasi yang ada di kampus. Menjadi pengikut itu biasa, menjadi pelopor itu baru luar biasa. Selama kita yakin dan berusaha, pasti kita mampu meraih hal yang kita inginkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H