Kali ini saya tertarik untuk mengulas sedikit tentang perang kata-kata di berbagai media sosial, apalagi sedang hangat-hangatnya mencuat kasus perseteruan antara musisi dan pengacara yang kata orang lumayan ngetop di republik ini.
Tuduhan fitnah dan penghinaan, dan atau Pasal 45 ayat 1 juncto Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyangkut pencemaran nama baik: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Kata-kata distribusi atau bahasa kerennya membroadcast apa yang akan kita sampaikan harus hati-hati mencermatinya, ya nggak? Jangan sampai kita akan terjebak perang tanding antara Undang-Undang IT versus Hak Asazi IT (HAM-nya IT, istilah saya sendiri untuk Hak Azazi Manusia dalam dunia IT), lalu bedanya apa ya antara ngerumpi dengan berorasi di depan umum???
Mari kita ilustrasikan.
Ibaratnya kita ngobrol “ngerumpi” dengan berbagai topik bersama lawan bicara kita, dalam rumah tempat tinggal kita sendiri atau di teras rumah , atau kita mengomel sendiri (tentang suatu berita yang tidak kita senangi) dalam rumah atau di teras rumah milik sendiri. Nggak masalah toh?
Artinya sebelum lawan bicara mendengar topik yang akan diobrolkan atau mendengar keluhan kita, terlebih dahulu harus masuk lewat pagar atau pintu rumah kita yang terkunci, itulah login dan password yang dipakai dalam komunikasi lewat IT (media social atau jejaring social). Jika ada yang tersinggung ya salah sendiri kenapa ngintip atau nguping obrolan tadi, kan masih di ranah privasi kita. Nah bedanya disini ni…jika yang kita sampaikan lewat media surat kabar, atau media-media resmi lainnya adalah analog dengan berorasi di jalan atau di fasilatas umum lainnya, sehingga siapa saja dapat mengakses apa yang kita sampaikan tanpa kunci atau password tadi. jadi jgn sakit hati dulu (kayak judul lagu “sakitnya tuh disini”)….kalo berseberangan pendapat atau apapun itu. Itulah gunanya ada login dan password.
Coba tengok deh di negara lain yang lebih dulu memperkenalkan dunia IT kepada masyarakatnya, secara para penemu dunia IT dari belahan dunia sana, bukan di republik ini. Kok saya pribadi nggak pernah denger ya ribut-ribut masalah yang kayak gini, aneh bukan? Mereka punya kesadaran yang tinggi dalam beretika dan cerdas banget memanfaat dunia IT lewat medsosnya. Nggak heran kan mereka berhasil mendapatkan benefit dari manfaat dunia teknologi ini.
Ada blog tetangga yang menulis contoh kasus di Indonesia vs Luar Negeri
Pernah dengar kasus di Indonesia, tentang Prita Mulyasari terkait RS Omni International ? Ya. Pada saat itu, Prita datang ke RS Omni karena sudah beberapa hari mengalami sakit demam dan beberapa penyakit lainnya. Setelah diperiksa oleh dokternya, Prita didiagnosis Demam Berdarah. Namun setelah beberapa hari perawatan, ternyata ada semacam virus di leher Prita, semacam gondong. Tidak puas dengan pelayanan rumah sakit ini, Prita kemudian menulis pengalaman ini melalui e-mail dan blog. Pihak rumah sakit tentu saja membantah ini dan menuntut Prita secara perdata dan pidana. Perlu dicacat Prita tidak menyebarluaskan hanya menulis.
Sekarang bandingkan dengan Kasus di Luar Negeri,
Beberapa kasus yang sering terjadi di luar negeri adalah penghinaan terhadap suatu kelompok ras, sering terjadi antar kelompok amerika-afrika yang berkulit hitam, menjadi korban penghinaan ini. Yang begini yang harus diproses secara hukum.
Nah lain masalah jika kasusnya berupa pencemaran nama baik para pemimpin negeri ini lewat medsos, contohnya tentang seorang presiden. Karena pada hakekatnya sebagai warga negara wajib menjaga kehormatan Negara seperti kita menjaga NKRI, sehingga pemimpin Negara (presiden) terlepas dari siapapun partai pendukungnya, identik dengan kehormatan negara. Siapa lagi toh yang menjaga kehormatan para pemimpinnya kalo bukan masyarakatnya, masa masyarakat luar?