Mohon tunggu...
Indra Agung Putrantoro
Indra Agung Putrantoro Mohon Tunggu... Musisi - Musician | Diploma in Optometry | Undergraduate Student in History Education

Seorang penikmat musik dan sejarah yang santuy, no offense dan jangan terlalu serius dengan tulisan-tulisan dari saya.. Surel : indra.putrantoro@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ada Oppa Korea di Bandung Lautan Api

10 Mei 2023   08:30 Diperbarui: 10 Mei 2023   08:36 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.korea.net/NewsFocus/HonoraryReporters/view?articleId=202445

Yang Chil-seong lahir di kabupaten Wanju yang berada di provinsi Jeolla Utara di Korea Selatan pada tanggal 29 Mei 1919. Karena di kala itu Korea sudah lebih dahulu dijajah oleh Jepang maka ia pun memiliki nama Jepang yaitu Sichisei Yanagawa. Setelah dewasa, pada tahun 1942 bersama dengan masa penjajahan Jepang di Indonesia ia pun yang kini telah menjadi tentara Jepang dikirim oleh Kekaisaran Jepang ke Indonesia bersama para tentara Jepang lainnya, dan ia diberikan tugas sebagai penjaga tahanan orang Belanda dan Sekutu di Bandung.

Singkat cerita setelah kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang di bom atom oleh sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat dan banyak teritori jajahannya memerdekakan diri misalnya Korea Selatan mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 13 Agustus 1945 oleh Syngman Rhee dan resmi dibentuk sebagai negara merdeka dan berdaulat pada tanggal 15 Agustus 1945. Dua hari kemudian di jalan Pegangsaan Timur nomor 56 di Jakarta pun Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks proklamasi dan menyatakan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Setelah kekalahan Jepang yang berkelanjutan dengan Indonesia serta Korea Selatan menyatakan kemerdekaannya, tidak serta merta membuat Yang Chil-seong mudik ke kampungnya. Ia malah jatuh cinta dengan Indonesia, bahkan dia menikahi gadis Garut serta diislamkan langsung oleh salah satu penyebar agama Islam di Garut yang bernama Pangeran Papak yang konon merupakan keturunan dari Raja Padjajaran Sri Baduga Maharaja. Selain masuk Islam ia pun mengganti namanya menjadi Komarudin.

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 pun kondisi negara tidak serta merta menjadi aman dan damai. Bangsa Indonesia masih harus berjuang mempertahankan kemerdekaannya karena masih banyaknya negara-negara asing yang belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Bahkan tentara-tentara asing penjajah Belanda yang tadinya dikerangkeng oleh penjajah Jepang kini dilepaskan dan mereka pun ingin kembali menguasai negeri yang pernah mereka jajah, Belanda yang beraliansi dengan Sekutu berusaha merebut kembali Indonesia.

Sebagai mantan tentara Jepang ternyata Komarudin memiliki kemampuan spesial yaitu ahli dalam merakit bom, kemampuan yang sangat berguna nantinya ketika ia dan dua temannya sesama tentara naturalisasi mantan dari tentara Jepang yang bernama Abubakar (Hasegawa) dan Usman (Masahiro Aoki). Mereka bertiga bergabung kedalam Tentara Nasional Indonesia dalam pasukan gerilya yang diberi nama Pasukan Pangeran Papak dari Markas Besar Gerilya Galunggung. Pasukan ini dipimpin oleh Major Kosasih dan bermarkas di Wanaraja, Garut.

Dalam berbagai peristiwa yang terjadi salah satu yang paling besar yang mereka jalani adalah ketika peristiwa pengosongan dan pembakaran kota Bandung oleh rakyat dan tentara agar tidak dijadikan markas oleh pasukan Sekutu dan NICA (Belanda). Pasukan Pangeran Papak pun memiliki tugas utama untuk mengamankan wilayah Garut dari agresi militer Belanda dan pasukan Sekutu. Dan dengan kemampuannya dalam merakit bom, Komarudin berhasil menggagalkan upaya Belanda merebut Wanaraja dengan cara meledakan jembatan Cimanuk.

Namun seiring dengan pasukan Belanda dengan support pasukan Sekutu yang terlalu besar dan ditambah para pengkhianat dari para Londo Ireng yang menjadi mata-mata musuh akhirnya pasukan Pangeran Papak pun terpaksa terpukul mundur. Empat personel pasukan Pangeran Papak diantaranya Komarudin, Abubakar, Usman dan satu pejuang asli Indonesia yang bernama Djuhana yang sedang bersembunyi akhirnya tertangkap di Gunung Dora di perbatasan antara Garut dan Tasikmalaya.

Komarudin, Abubakar dan Usman ketiganya di eksekusi mati langsung oleh Belanda dan Sekutu di Kherkoff, Garut. Sedangkan Djuhana dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Tidak lama setelah Republik Indonesia dan Republik Korea memulai hubungan persahabatannya yaitu pada bulan September 1973, dua tahun kemudian pada tahun 1975 makam mereka bertiga yang awalnya dikebumikan di TPU Pasir Pogor kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut. Oh iya, Komarudin sendiri ketika gugur meninggalkan seorang putra berumur satu tahun yang bernama Eddy Jawan. *iap (disarikan dari berbagai sumber)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun