Mohon tunggu...
Indrayuki Tasyanthai
Indrayuki Tasyanthai Mohon Tunggu... -

Tukang desain dan motret. Senang bergiat bidang kemanusiaan. Tulisan saya di Kompasiana ini adalah opini pribadi, tidak mempresentasikan tempat dimana saya bekerja. Salam kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

PMI Dicerai-berai oleh Perang

31 Januari 2016   10:04 Diperbarui: 31 Januari 2016   10:31 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sukarelawan PMI Jogyakarta yang tergabung dalam | Koleksi Pribadi"][/caption]Setelah Kongres Pertama  Palang Merah Indonesia (PMI) pada 16-17 Oktober 1946, dan sesudah Markas Besar PMI berpindah dari Jakarta ke Jogyakarta mengikuti berpindahnya ibukota Republik Indonesia, maka PMI mengalami banyak kesulitan, terutama menghadapi serangan Belanda yang dimulai pada 21 Juli 1947.

Sesungguhnya PMI telah melakukan pekerjaannya sesuai dengan azas-azas kepalangmerahan, namun perang membuat PMI serasa sulit melakukan pekerjaan tersebut, terutama dengan sikap Belanda yang tidak menghormati PMI saat menjalankan tugasnya. Belanda melakukan “Politioneeli Actic” yaitu bertindak sebagai polisi. Segala aktifitas diawasi dan dikendalikan secara langsung maupun tidak langsung. Belanda pun memecah bagian-bagian wilayah pendudukan sehingga tidak bisa saling berhubungan.

Sangat sukar untuk menembus daerah pertempuran yang tersebar dimana-mana. PMI mulai tercerai-berai, Markas Besar di Jogya tidak bisa mengontrol cabang-cabangnya karena terhambat oleh perhubungan. PMI selalu berusaha untuk memberikan bantuan dengan sekuat tenaga . Mengirim barisan pengangkut, pembantu juru rawat ke medan pertempuran dengan sangat sederhana, kendaraan tidak bisa digunakan, mereka hanya bisa berjalan kaki.. Belanda berhasil membuat PMI tidak berdaya.  Pengiriman obat-obatan hanya dapat dilakukan dengan kurir-kurir yang seringkali harus berjalan kaki beberapa minggu untuk mencapai tujuan. Para dokter dan asistennya banyak yang bekerja di gunung-gunung untuk menghindari pemeriksaan tentara Belanda.

Dalam situasi dan kondisi apapun PMI terus berusaha bekerja, dimana ada perlawanan, disitu ada PMI. Namun Belanda makin menguasai. Di pulau Jawa, Sumatera dan pulau-pulau lainnya, PMI semakin kesulitan untuk berkoordinasi. Cabang-cabang yang tergabung dalam komisariat Jawa Barat mulai bubar, demikian pula di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera karena wilayah tersebut telah diduduki Belanda.  Di Sumatera yang bertahan hanya Bukittinggi di bawah pimpinan dr. Sjamsudin. Sedangkan cabang-cabang yang berada di luar “Daerah Linggardjati” dan “Renville” tidak dapat berhubungan dengan Markas Besar di Jogyakarta. Malahan, dengan cepat-cepat daerah-daerah yang tidak dapat berhubungan tersebut, oleh Belanda segera didirikan afedeling-afdeling NERKAI (Nederlandsche Roode Kruis Afedeling Indonesie) sesuai dengan politik Belanda untuk memecah Indonesia menjadi beberapa negara bagian dengan pemerintah federalnya.

Dengan demikian, PMI praktis hanya meliputi daerah Renville; Jogyakarta, Jawa Tengah dan Sumatera, walaupun di Jakarta masih tetap ada perwakilan pusat PMI dan cabang Jakarta Raya, sampai saat penyerahan kedaulatan (soevereiniteitsoverdrecht) oleh Belanda kepada Indonesia 17 Desember 1950 di Istana Dam, Amsterdam Belanda. Indonesia diwakili oleh M. Hatta, Ketua Umum PMI yang pertama.

(Indra Yogasara, Sedjarah Palang Merah Indonesia, Markas Besar, 1953)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun