Mohon tunggu...
Indrawati
Indrawati Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

Menulis isu-isu Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengelola Konflik Laut China Selatan

31 Mei 2024   22:06 Diperbarui: 31 Mei 2024   22:50 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Laut China Selatan merupakan salah satu wilayah yang menjadi lokus konflik dan menjadi salah satu fokus perhatian dunia. Hal ini tidak lepas dari peningkatan ketegangan yang bersumber dari semakin agresifnya negara-negara yang berkepentingan di wilayah tersebut. Faktor utama yang melatarbelakangi ketegangan adalah tumpang tindih klaim wilayah oleh beberapa negara. 

Enam negara terlibat langsung sebagai claimantant state di wilayah ini adalah Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Taiwan, dan China. Laut China Selatan menjadi lokasi strategis yang didukung dengan posisi geopolitik dan geoekonomi sebagai salah satu jalur pelayaran utama dunia. Selain itu Laot China Selatan disinyalir memiliki potensi sumber daya alam berupa deposit minyak, gas bumi dan perikanan yang sangat melimpah.

Tumpang tindih yang terjadi di wilayah ini terjadi karena masing-masing negara memiliki dasar yang berbeda. Pada 1947 China mengklaim hampir 90% wilayah laut cina Selatan dengn prinsip Sembilan Garis Putus-Putus (Nine Dash Line) yang menyerupai huruf "U" mendasarkan yang kemudian tahun 1958, di mana China menegaskan klaimnya dalam Undang-undang. (Malczewska, 2015) 

Klaim China ini mengganggu Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan. Klaim China sendiri dianggap hanya mendasarkan pada aspek historis dan tidak didasarkan pada Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, yang sebenarnya sudah diratifikasi oleh China. Situasi ini membuat Kawasan ini menjadi rawan terjadinya ketegangan. Seperti yang terjadi baru-baru ini anatara China dengan Vietnam dan Filipina.

Situasi rawan konflik di Kawasan laut China Selatan ini jika tidak segera diatasi bukan tidak mungkin akan berdampak pada Indonesia. Seperti yang terjadi pada September 2021 lalu, Dimana kapal perang China terlihat memasuki wilayah perairan Natuna Utara Indonesia. Pada Agustus 2023, China merilis Peta Standar China Edisi 2023 yang semakin merapat ke perairan Indonesia. (BNPP, 2023)

Peran Indonesia dalam Mengelola Konflik di Kawasan Laut China Selatan

Sebagai salah satu negara besar di ASEAN, Indonesia kemudian mulai memainkan perannya untuk dapat mengelola konflik di Laut China Selatan. Indonesia mulai menginisiasi pertemuan antara negara-negara yang berkonflik untuk dapat mengelola dan memaksimalkan potensi yang ada di Kawasan laut china Selatan ini alih-alih menjadikan konflik semakin terbuka. Inisiasi Indonesia dimulai pada tahun 1990 dalam bentuk lokakarya dengan topik The Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea yang dihadiri oleh perwakilan negara-negara yang berkonflik.

tiga tujuan Indonesia melaksanakan lokakarya ini diantaranya: (Rustandi, 2016)

  • Mendorong dialog dan pemahaman bersama di antara pihak-pihak melalui pertukaran pandangan dan gagasan;
  • Mengajak pihak-pihak terkait untuk mencari solusi atas sengketa mereka dengan menciptakan suasana yang kondusif semaksimal mungkin; dan
  • Mengembangkan kerja sama konkret dalam hal-hal teknis yang dapat disepakati oleh semua pihak untuk bekerja sama, meskipun hal tersebut tampak kecil atau tidak signifikan.

Inisiasi Indonesia ini kemudian terus dilaksanakan setiap tahun hingga Agustus 2023 lalu The 32nd workshop on managing potential conflict in the East Sea dilaksanakan di Banten pada 24 Agustus 2023. Pada workshop ke 32 ini 70 delegasi yang berasal dari Vietnam, Brunei, China, Philippines, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, and Taiwan.

Potensi Konflik yang terjadi di Kawasan Laut China Selatan kemudian dikelola dengan peningkatan Kerjasama diberbagai bidang.Lokakarya juga mencatat sejumlah usulan proyek sebagai bentuk kerja sama seperti: Penelitian tentang Ketahanan Terumbu Karang terhadap Ancaman yang Meningkat dari Aktivitas Antropogenik dan Perubahan Iklim, dan Penilaian Dampak Perubahan Iklim dan Kenaikan Permukaan Laut terhadap Ekosistem Mangrove; Penelitian tentang Bintang Laut Mahkota Duri (COTS); Penelitian dengan tema peningkatan ekosistem laut di Pantai Myanmar; dan Penelitian dengan tema peningkatan ekosistem laut di Laut Cina Selatan dengan mengatasi dampak perubahan iklim.

Inisiasi Indonesia yang terus dilakukan melalui workshop yang rutin dilakukan setiap tahun ini kemudian menunjukkan bagaimana peran Indonesia dalam upayanya mengelola konflik di Kawasan Laut China Selatan. Meskipun konflik terbuka antara negara-negara di Kawasan ini masih belum dapat dihindarkan secara total, setidaknya masih ada peluang Kerjasama yang data dilakukan oleh negara-negara tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun